Langsung ke konten utama

Ramadhan, Lebaran, Juga Nastar yang Tak Sama.


“Halo?”

Beberapa tahun belakangan, dua puluh hari pertama Ramadhan aku makan sahur ramai-ramai sama teman, Bay. Terus sepuluh hari berikutnya, sambil nonton ceramah da’i yang lagi ikut lomba di TV sama keluarga aku, makannya juga sambil ngantuk-ngantuk, soalnya kalau di rumah itu kasurnya punya daya tarik berkali-kali lipat dari tempat manapun.

Habis sahur terus salat jamaah subuh diimamin Abah aku di musala rumah, terus aku sama adik pasti lanjut tidur sampai siang.

“Kamu lagi apa, Bay? Udah buka puasa?”

“Disini maghribnya kurang 13 menit lagi,”

“Di Malang udah dari 10 menit yang lalu, ini aku lagi buka,”

Yang jadi favorit saat buka puasa itu takjil bikinan Ibu aku, tiap hari ganti-ganti terus, kadang es degan ditambah susu, kadang es teler, es buah, kolak pisang, tapi yang paling favorit aku tetep es degan, sih. Soalnya degannya dari pohon samping rumah, yang manjat Abah aku, dulu di rumah ada dua pohon kelapa, sekarang cuma sisa satu.

Puas banget balas dendam pas buka puasa, apapun masakannya, selalu nikmat banget kalau jadi menu buka. Abis buka, perasaan baru main hape sebentar, tiba-tiba udah adzan isya’ aja, padahal makanan di perutku belum turun, haha.

Malam Ramadhan selalu seru, sih. Liat anak kecil yang lucu lari-larian di depan ibunya yang lagi tarawih, abis itu kepleset sajadah, nangis, deh, haha. Sambil nungguin giliran tadarus di mic musala, aku selalu ngerumpi sama teman-teman sambil nyemilin gorengan yang dikasi tetangga, terus nggak sadar tiba-tiba udah jam sepuluh malam.

“Suara kamu bagus, Bay, halus banget. Terimakasih ya udah ngirim voice note­ kamu lagi takbiran, aku terharu,”

“Iya,”

“Ramadhan tahun ini kamu sedih, nggak?”

“Pasti,”

Sama, Bay. Ini juga kali pertamanya aku melalui Ramadhan sampai hari raya sendirian, bener-bener sendiri. Nyari takjil sama makanan buka puasa juga sendiri, sahurnya tinggal ngangetin lauk yang dibeli double pas sore tadi, karena tahun ini nggak ada warung yang buka buat sahur, beda sama tahun lalu.

“Kamu hati-hati ya disana, jangan sering keluar-keluar kalau nggak perlu banget,”

“Iya, Bay. Ohiya, aku ada cerita, nih,”

“Apa?”

“Waktu pertengahan Ramadhan kemarin, kan lagi panas-panasnya berita begal, rampok, maling, kan. Aku tiap di jalan, kalau ada motor yang tiba-tiba ngerem mendadak di deket aku jadi parno banget, takut,”

“Terus?”

“Sore itu, waktu aku keluar, tiba-tiba ada motor yang ngerem mendadak banget, refleks aku noleh cepet ke dia, dia juga kaget terus ikut noleh ke aku juga, ternyata dia ngerem mendadak karena di samping aku ada portal,”

“Haha,” Aku selalu suka saat Bay tertawa, walaupun hanya suara telepon, aku bisa membayangkan manisnya dia, apalagi saat tertawa pasti kedua matanya cuma sisa segaris, karena Bay matanya sipit. Tapi, teduh banget kalau dia udah fokus memandang, apalagi sambil senyum. Ah, apapun yang ada pada diri kamu, selalu jadi favorit aku, Bay.

Sebenarnya, aku tidak terlalu sedih, biasa saja. Tapi karena aku dikasihani, aku jadi sedih. Kasihan, ya, nggak bisa mudik, nggak bisa lebaran sama keluarga. Kalimat kayak gitu malah bikin aku sedih, padahal keluarga aku di rumah selalu ngasi semangat biar aku nggak sedih, tapi kalimat orang-orang yang bikin sedih, Bay. Ngeselin emang.

Aku bangga sama keluarga aku, karena mereka support aku yang nggak mudik, karena ini bukan kemauan, tetapi pilihan yang terbaik, biar banyak orang yang sehat. Tapi, banyak orang juga yang tidak tahu diri.

Kecewa banget, udah nahan-nahan enggak mudik, rela sendirian di kota orang, tapi di tempat lain banyak yang mudik, banyak yang kumpul-kumpul, banyak yang menyepelekan. Kamu tahu rasanya seperti apa? Saat kamu menyatakan rasa pada seseorang, namun seseorang itu bilang kalau belum mau untuk memulai hubungan, eh beberapa waktu berikutnya tiba-tiba tunangan sama orang lain.

Kecewa nggak, tuh?

Sama, tenaga medis kecewanya lebih dari itu.

Mengapa keegoisan selalu mematikan rasa kemanusiaan?

Tapi Bay selalu bilang, tidak ada hal baik yang sia-sia. Semua pasti dapat ganjarannya dari Allah, sama seperti ikhlasnya tenaga medis yang merawat pasien, juga relanya perantau yang memilih tidak bertemu keluarga demi kebaikan orang disekelilingnya.

Kata Bay, jangan lupa selalu minta sama Allah, supaya pandemi ini segera berakhir, biar Ramadhan tahun depan bisa tarawih sama tadarus di musala bareng teman-teman lagi, dan hari raya bisa salam-salaman sama keluarga dan saudara.

“Udah dapat nastarnya?”

“Udah, Bay. Tapi beda sama nastarnya Budhe aku yang segede jempol kaki yang aku makan tiap ke rumahnya pas lebaran,”

“Nggak apa, yang penting dapat,”

Bay, asal kamu tahu, salah satu penyemangat aku untuk nggak mudik, itu kamu, kamu juga rela nggak mudik. Inget, nggak? Waktu itu kamu ngomel-ngomel biar orang lain tetap stay di tempatnya masing-masing, haha lucu kalau di ingat.

Ohiya, suara kamu yang lagi takbiran, aku play berulang-ulang dari malam sampai pagi, loh. Habisnya, suara kamu selalu bikin tenang, sih. Padahal, lebarannya masih dua hari lagi, haha.

“Rim, disini udah adzan maghrib,”

“Oh kalau gitu selamat berbuka puasa, Bay. Dah...”

Suara tawa yang kamu akhiri sebagai penutup saat telepon selalu bikin candu, pengin diulang-ulang terus. Terimakasih untuk waktunya sore ini, ya. Malam lebaran nanti jangan lupa telepon lagi, aku mau kamu takbirannya langsung, bukan voice note.

Waalaikumsalam, Bay.

 Rim, 867 km darimu.

Komentar

Boleh Singgah

“SISA NAFAS”

-Sudut Pandang Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama- Suara ayunan yang berdecit semakin menambah suasana sendu di taman ini, satu-satunya ayunan yang berpenghuni diantara ayunan-ayunan yang lain. Taman yang sepi dan matahari yang sudah dipenghujung barat tak membuatku untuk beranjak dan pulang. Kilauan mataku yang berbinar sudah dari tadi meredup, tergantikan oleh cairan bening yang mengalir membasahi kedua pipiku. Suatu penyesalan yang muncul dalam benakku, sehingga membuatku terdiam melamun memikirkan suatu hal, hal yang bisa membuat orang yang ku kasihi tak menyayangiku lagi. “Aku merindukanmu, kak. Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu seperti dulu? Yang selalu ada untuk membuatku tertawa. Andai aku bisa mengatakan, pasti akan kukatakan dari dulu, tapi aku tak mau membuatmu cemas.” Lirihku disela kesenduanku. “Tiara!” Aku tersentak kaget ketika sebuah suara yang amat keras memanggil namaku dari belakang ayunan yang aku duduki, aku menoleh kaget ketika seorang pemuda sudah be...

Ketika Jatuh Cinta, Namun Tak Lagi Untukku.

Di sebuah platform sosial mediaku, 2 hari lalu aku mendapat sebuah shoutout anonym , yang pertanyaannya kurang lebih begini, “Jika kamu menyayangi seseorang bahkan tidak bisa berhenti peduli padanya, sedangkan orang itu justru menyayangi 2 perempuan atau lebih dalam hidupnya, kamu akan apa di posisi itu?” Aku berpikir sejenak, menarik napasku berat sebelum menjawab shoutout tersebut, ingatankan berputar pada kisahku dua tahun ke belakang—hingga saat ini, karena saat ini pun aku juga berada dalam posisi serupa. Lucunya, dengan orang yang berbeda. Dua tahun lalu, aku memulai hubungan dengan salah satu partner kerjaku, proses pdkt kami tidak lama, namun aku lupa sejak kapan aku mulai benar-benar menyayanginya, karena yang aku tau, rasa itu hadir karena setiap harinya dia selalu berusaha untuk menumbuhkan rasa sayangku padanya, “ Aku bakal bikin kamu juga sayang sama aku, kek aku yang sayang kamu, ” ucapnya dari seberang telpon sana, iya, kami long distance relationship . Sebenarnya a...