Langsung ke konten utama

“SISA NAFAS”

-Sudut Pandang Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama-

Suara ayunan yang berdecit semakin menambah suasana sendu di taman ini, satu-satunya ayunan yang berpenghuni diantara ayunan-ayunan yang lain. Taman yang sepi dan matahari yang sudah dipenghujung barat tak membuatku untuk beranjak dan pulang. Kilauan mataku yang berbinar sudah dari tadi meredup, tergantikan oleh cairan bening yang mengalir membasahi kedua pipiku. Suatu penyesalan yang muncul dalam benakku, sehingga membuatku terdiam melamun memikirkan suatu hal, hal yang bisa membuat orang yang ku kasihi tak menyayangiku lagi.
“Aku merindukanmu, kak. Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu seperti dulu? Yang selalu ada untuk membuatku tertawa. Andai aku bisa mengatakan, pasti akan kukatakan dari dulu, tapi aku tak mau membuatmu cemas.” Lirihku disela kesenduanku.
“Tiara!” Aku tersentak kaget ketika sebuah suara yang amat keras memanggil namaku dari belakang ayunan yang aku duduki, aku menoleh kaget ketika seorang pemuda sudah berdiri disana dengan raut wajah yang sepertinya ingin marah. Dengan segera aku menghapus air mataku dan aku langsung berdiri menghadap pemuda itu.
“Sudah berapa kali aku bilang? Jangan sekali-kali keluar rumah tanpa izinku atau  izin Mamah! Lihat, baru saja aku dimarahi Mamah karena aku dianggap teledor menjagamu!” Pemuda itu memakiku, aku hanya bisa diam dan menundukkan kepalaku mendengar kakakku marah seperti itu. Ini sudah biasa terjadi, bahkan setiap hari menjadi hidangan untukku, selalu dan selalu mendapat bantakan dari kakak yang dulu sangat menyayangi dan mengasihiku layaknya kasih sayang antara kakak dan adiknya. Tapi kini? Sudah sirna seperti ditelan bumi. Dulu ya dulu...
“Maaf, kak.” Ucapku dengan nada seperti ketakutan.
“Basi! Selalu itu yang kamu ucapkan! Aku muak!” Ucapnya dengan nada tinggi. “Ayo pulang!” Pemuda itu menarik kasar tanganku agar aku mengikuti langkahnya.

***

“Bisakah kamu lebih halus dengan adikmu sendiri, Bisma?” Tegur Mamah saat aku dan Kak Bisma sudah sampai dirumah.
“Salah lagi ya, Mah? Apasih yang ada dipikiran Mamah? Kenapa selalu Tiara yang Mamah bela dan Mamah sayang? Bisma apa? Bisma bosen, Mah! Sudah tiga tahun lebih Mamah pilih kasih sama Bisma!” Kak Bisma melepas kasar tanganku yang daritadi ia genggam.
“Mamah gak pilih kasih, kamu dan Tiara sama-sama anak Mamah, dua malaikat yang sangat Mamah sayangi. Jangan pernah beranggapan Mamah membedakan antara kamu dan adik kamu, Bisma.” Ucap Mamah dengan lembut.
“Terserah deh, Mamah emang gak pernah ngerasa!” Kak Bisma melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Mamah dan aku. Aku menatap punggung kak Bisma yang mulai menjauh.
“Sampai kapan, Mah? Aku kangen sama kak Bisma yang dulu, aku gak bisa terus-terusan kayak gini,” Ucapku dengan mata berkaca-kaca, aku seperti ingin menangis lagi sore ini. Pelupuk mataku serasa tak bisa menahan air yang akan melaluinya.
“Sabar sayang, Mamah akan berusaha untuk melakukan apapun  maumu, demi kamu!” Mamah mengelus lembut rambutku yang tergerai tak beraturan akibat diterpa angin saat pulang tadi.
“Ini semua gara-gara penyakit mengerikan itu, Mah! Arrrgghhh, penyakit sialan!” Aku memukul kasar dadaku, aku seperti depresi dengan semua ini. Aku menyesali kehendak Tuhan yang ku anggap seperti tidak adil begini. Kenapa semua ini harus Tuhan limpahkan kepadaku? Kenapa? Tuhan tak sayang lagi padaku? Iya? Semua pertanyaan itu berjibum mengelilingi otakku.
“Sudah sayang, sudah. Jangan malah menyiksa diri kamu sendiri, Tuhan itu adil, dan Ia sangat menyayangi kamu.” Mamah dengan cepat mendekap tubuhku, air mata keduanya tak sanggup lagi untuk dibendung, seperti sungai yang mengalir deras tanpa penghalang.

***
-Sudut Pandang Normal-
Tok tok tok~

Dengan langkah gontai Bisma menghampiri pintu kamarnya dan membukanya, ia hanya menarik nafasnya paksa ketika mengetahui siapa orang yang telah mengetuk pintu kamarnya itu.

“Ada apa, Mah?” Tanya Bisma dengan ekspresi datar.
“Mamah mau bicara sama kamu,” Mamah Bisma lalu melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam kamar Bisma dan mendahului langkah putranya itu. Mamah Bisma duduk ditepi ranjang tempat tidur Bisma, lalu Bisma mengikuti untuk duduk disamping Mamahnya sambil memangku sebuah guling.
“Kamu merasa apa selama lebih kurang tiga tahun ini, Bisma?” Tanya Mamah langsung.
“Merasa apa emang? Merasa dipilih kasihin!” Tangkas Bisma cepat.
“Itu bukan maksud Mamah untuk tujuan Mamah, Bisma. Dan saatnya malam ini kamu mengetahui semuanya sebelum terlambat untuk kamu membuat lagi senyuman bahagia dari bibir adikmu,” Bisma melongoh mendengar ucapan Mamahnya, sepersen-pun ia tak mengerti apa maksud Mamahnya berbicara seperti itu.
“Mak Maksud Mamah?” Tanya Bisma menautkan sebelah alisnya.
“Tiara, mengidap penyakit kanker paru-paru,” Ucap Mamah Bisma, dengan mata membola Bisma mendengar jawaban dari Mamahnya, “Tiara divonis dokter hanya mampu bertahan selama dua bulan saja, saat ia mengetahui usianya tinggal hitungan hari, ia menjadi putus asa. Ia sering menangis, dan cuma kamu penyemangat untuknya, cuma kamu yang bisa menjadi obat untuknya, dan cuma kamu ia bisa membantah vonis dokter bahwa ia hanya mampu bertahan selama dua bulan.” Bisma mulai meneteskan air matanya ketika mengetahui suatu hal yang mampu membuatnya merasakan lemah yang amat dalam, selama ini ternyata Bisma sudah menyia-nyiakan waktunya bersama orang yang ia kasihi dengan sebuah amarah.
“Demi ingin lebih lama bersama kakaknya, ia mampu bertahan selama lebih dari tiga tahun, Bisma! Dan, Mamah juga tidak tau, selama apakah ia mampu bertahan kembali? Sudah sebulan ini darah keluar dari mulut dan hidungnya, Mamah sangat khawatir. Tapi ia tetap mengatakan jika Tiara gak papa, Mah. Mamah jangan khawatirin Tiara, supaya kak Bisma gak tau dan juga gak ikut ngekhawatirin Tiara.” Bukan Cuma Bisma yang menangis, dengan kata-kata yang terucap sendiri, Mamah juga ikut meneteskan air matanya. Sesenggukan ia masih bisa bercerita.
“Apa yang harus Bisma lakuin, Mah? Bisma banyak salah sama Tiara..” Lirih Bisma. Mamahnya hanya menggeleng.
“Sebelum SISA NAFASnya berakhir, Bisma janji, Bisma tak akan biarkan setetes air mata kesedihan terbuang dari mata Tiara, Mah. Bisma janji! Dan Tiara harus sembuh.” Dengan cepat bisma menangkas air matanya, ia memilih untuk keluar kamar dan segera berlari menuju kamar Tiara, tanpa sebuah ketukanpun, Bisma membuka kamar Tiara. Dan, kosong~
“Tiara? Kemana dia?” Ucap Bisma dalam hati ketika tak menemukan orang yang ia cari, tiba-tiba saja..
“Uhuk Uhuk..” Bisma tersentak ketika sebuah suara batuk terngiang jelas ditelinganya, kedua bola mata Bisma bergerak mengedarkan pandangannya untuk mencari asal suara itu.
“Di kamar mandi!” Benar saja, dengan cepat Bisma dapat menemukan asal suara batuk itu ketika suara percikan air kran juga mulai terdengar. Dengan cepat Bisma menuju kamar mandi di kamar Tiara lalu membukanya,
“Tiara!” Pekik Bisma, dengan segera Bisma merangkul tubuh adiknya yang seperti hilang kendali itu, tangan Tiara dengan susah payah memegang erat ujung wastafel dan tangan kirinya memegangi dadanya.
“Apanya yang sakit?” Tanya Bisma panik, nafas Tiara berderu tak beraturan. Dengan sempoyongan ia menggeleng.
“Jangan mengelak, kakak sudah tau semuanya.” Tiara menatap nanar manik mata Bisma, apa yang Tiara takutkan kini sudah menghampirinya. Suatu hal yang besar dengan hati-hati Tiara sembunyikan selama tiga tahun ini ternyata sudah diketahui oleh kakaknya.

-Sudut Pandang Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama-

“Uhuk uhuk..” Lagi dan lagi leherku seperti tercekat, dan ada sesuatu yang menyodok tenggorokanku yang ingin segera kukeluarkan, amat sakit rasanya. Kak Bisma masih merangkul erat pundakku, dan ini juga yang sangat aku rindukan, bisa berada didekat kak Bisma lagi. Tanpa terkendali, darah segar berwarna merah itu keluar dari dalam tubuhku melalui batukku tadi, aku sangat ketakutan, apakah aku akan mati malam ini? Jika iya, aku rela Tuhan, asalkan disampingku tetap ada kak Bisma yang mendampingiku.
“Yang mana yang sakit, Tiara?” Tanya kak Bisma lagi, tangan kananku mulai melepas wastafel yang tadinya aku pegang erat untuk menahan tubuhku agar tak terjatuh, aku menunjuk punggung belakangku, dan pandangan kak Bisma beralih mengikuti tanganku.
“Punggung? Apa yang kamu rasakan?” Tanya kak Bisma lagi.
“Panas, Kak. Dadaku nyeri, susah buat nafas.” Ucapku berat dengan suara yang parau, karena didunia ini seperti tak ada oksigen lagi, sangat sulit untukku bernafas, sesenggalan aku terbatuk kembali.
“Kita kerumah sakit ya?” Aku hanya menggeleng.
“Terus gimana, Tiara? Kakak gak bisa liat kamu terus-terusan kesakitan gini, kakak gak tega.” Ucap kak Bisma.
 “Aku mau tidur aja, kak.” Jawabku, kak Bisma hanya bisa menurut apa kemauanku itu. Dengan sigap kak Bisma menuntunku menuju tempat tidurku, kak Bisma menyelimuti sekujur badanku.
“Kak..” Lirihku, kak Bismapun menoleh.
“Apa?” Jawabnya.
“Tiara kangen sama kak Bisma,” Kak Bisma hanya mengukir sebuah senyum tipis dibibirnya, kakinya mulai terayun untuk melangkah dan mendekatiku.
“Kakak juga kangen sama kamu tau! Kangen narik hidung kamu, haha.” Kak Bisma menarik gemas hidung mancungku itu, suasana suka kembali datang menyelimuti ruangan ini, canda gurau mulai terdengar diantaraku dan kak Bisma. Mamah memandang sendu kedua buah hatinya yang sekarang kembali bersatu dari ambang pintu kamarku.

***

Fajar kembali datang, matahari dengan malu-malu muncul dari ufuk sakura. Aku masih terlelap dalam dunia mimpiku, silauan cahaya pagi dan kicauan burung yang sedang menari tak membuat gadis ini untuk membuka matanya.
“Bersiaplah, sayang. Aku menantimu disana, kamu akan lebih mempunyai banyak sekali teman, Tuhan lebih menyayangimu.” Aku terpelongoh kagum mendapati seorang wanita dewasa bersayap putih yang teramat cantik itu, wanita tersebut menggenggam erat tanganku, aku hanya bisa membisu tak bergutik, tak tau apa yang harus kulakukan.
“Kebahagian dan keinginanmu sudah terpenuhi, bukan? Kakakmu sudah kembali, kini saatnya kamu ikut bersamaku.” Wanita itu tersenyum manis kepadaku.
“Hah?!??” Aku sangat bingung mendapati semua ini. Apa yang harus aku lakukan? Sebenarnya ada perasaan takut yang menyelimutiku.
“Tujuh hari.” Ucapnya, dalam sekejap saja wanita itu sudah menghilang, meninggalkan sehelai bulu dari sayapnya. Bulu yang putih bersih itu kuambil, aku memperhatikan glentir demi glentir bulu itu.
“Hah?!??”  Aku terbangun saat setelah sebuah mimpi mengagetkanku, nafasku terengah-engah tak beraturan. Kedua tanganku seperti sedang mengepalkan sesuatu. Tangan kiriku menggenggam erat ujung selimut biruku dan tangan kananku..
“Astaga! Bagaimana bisa?” Aku terkejut ketika mendapati tangan kananku sedang menggenggam sehelai bulu putih, seperti bulu burung merpati. Dan aku teringat, jika bulu itu aku dapati dari mimpiku tadi!
“Uhuk uhuk.” Seperti tiada hari tanpa sakit, dadaku kembali nyeri. Dengan cepat bulu itu aku masukkan kedalam laci meja belajarku, dan aku segera berlari menuju kamar mandi yang berada dikamarku. Muntahan darah segar itu kembali kukeluarkan, amat sakit rasanya. Dan ini sudah setiap hari terjadi setelah tiga tahun lalu aku divonis mengidap kanker ganas yang menyerang paru-paruku. Sedih? Pasti, siapa yang tidak sedih ketika mengetahui nafas kita tak akan berderu lebih lama lagi? Jika aku bisa dan diizinkan oleh Tuhan, aku ingin bertanya kepada orang-orang yang lebih dulu meninggalkan dunia ini. Apakah mati itu? Bagaimana rasanya? Apakah sakit? Atau akan lebih menyenangkan kehidupan dialam sana? Dan itu mustahil! Jika semua orang bisa bertanya seperti itu, jelas Tuhan tidak akan menyiapkan kejutan-kejutan bagi insan didunia ini.
Aku menyalakan kran dan mengambil tissue, dengan perlahan kubasuh sisa darah yang masih tersisa disekitar mulutku. dadaku masih sangat nyeri, aku segera berjalan menuju tempat tidurku, aku berniat melihat jam dan segera mandi bersiap untuk berangkat. Sudah jam tujuh! Oh Tuhan, aku terlambat! Seketika bayangan itu hilang dari otakku ketika aku teringat jika kak Bisma sudah mengetahui semuanya, kenapa aku harus berpura-pura lagi? Kakiku mulai terayun menuju tempat belajarku dan kuambill helai bulu tadi. Aku menautkan sebelah alisku ketika mendapati lembaran-lembaran kertas origami berwarna lengkap tujuh pelangi disamping bulu itu. Aku sangat bingung, perasaan aku tak pernah mempunyai bahkan menaruh kertas itu.
“Kertas siapa?” Tanyaku dalam hati, tanganku mulai bergerak membalik-balik lembar kertas itu. Ada tujuh! Akan kuapakan tujuh kertas berwarna indah ini? Lalu sebuah senyuman menyungging manis dibibirku.
“Akan kujadikan buku harian saja!” Pikirku, aku mengambil sebuah staples dilaciku dan kujadikan lembaran-lembaran itu menjadi satu seperti buku harian. Lalu kuambil juga bolpoin, kutulis angka ‘1’
“Ini tulisan buat yang kemarin” Ucapku,  
“1 September 2014. Terimakasih Tuhan, kau telah kembalikan orang yang kusayang dalam hidupku”
“Jadi seandainya mataku sudah terpejam untuk selamanya, mereka bisa membaca apa yang aku tulis disisa hidupku ini.” Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka, aku segera menoleh. Oh, ternyata kak Bisma. Aku segera memasukkan bulu dan kertas itu kembali kedalam laciku.

-Sudut pandang Bisma, Pemeran Utama Pelaku Sampingan-

“Jam segini belum berangkat?” Tanyaku kepada Tiara, ia hanya tersenyum manis menanggapi pertanyaanku, aku sangat bingung dibuatnya, ditanya kok malah senyum? Bukannya sekarang sudah terlalu siang untuk jenjang pendidikannya yang sudah SMA?
 “JIKA aku sehat, aku pasti sekolah, kak. Dan aku akan menemukan seorang teman sejati yang nantinya akan menemaniku, aku akan menemukan seorang guru yang tulus memberiku pengetahuan, dan aku akan bersenang dengan kenangan-kenangan indah diusia remajaku ini, tapi itu hanya JIKA!” Ucap Tiara lirih.
“Jadi?” Tanyaku menggantung.
“Iya, tiga tahun ini aku udah gak sekolah, kak. Kakak gak tau, kan? Setiap pagi aku pake seragam sekolah itu aku kemana? Kesekolah? Tidak, aku kerumah sakit, kak.” aku terdiam, separah itukah penderitaan adikku? Tidak punya teman? Tidak bisa bebas dengan dunia pendidikannya? Padahal, waktu kecil, Tiara sering bilang bahwa dia pengen jadi dokter, tapi apa? Dan itu juga hanya JIKA. Tapi selama ini? Aku adalah anak yang sehat tapi malah menyia-nyiakan masa pendidikannya, sedangkan adikku ingiiiiiiin sekali merasakan yang namanya sekolah.
“Kak...” Panggil Tiara padaku, aku menatapnya.
“Apa?”
“Kakak hari ini gak ada kelas kuliah, kan?” Aku hanya mengangguk, “Kita pergi ketaman tempat biasa dulu kita main ya, kak?” Ucap Tiara sembari tersenyum, dan lagi aku hanya mengangguk mengamini permintaannya.

***
-Sudut pandang normal-
“Eh, maskernya jangan diturunin.” Tahan Bisma pada Tiara yang hendak melepas maskernya. Ia menaikkan masker Tiara.
“Gak enak ka, malah susah buat nafas. Lagiankan disini gak terlalu banyak polusi.” Ucap Tiara kembali menurunkan maskernya.
“Ngeyel,” Ucap Bisma.
“Kak, main ayunan kayak dulu yuk, hehe.” Tiara menarik-narik tangan kakaknya, Bisma. Bisma tersenyum lalu merangkul Tiara menuju ayunan. Dengan refleks Tiara menduduki ayunan itu dan Bisma berdiri tepat dibelakang Tiara.
“Kak, ayunin yang kenceng ya!!!” Ucap Tiara, Bisma mengangguk lalu menarik ayunan Tiara untuk mengambil ancang-ancang.
“Siap????” Tanya Bisma memastikan.
“Siap, kak.” Ucap Tiara semangat. Dan....
Syuuuuu................!!!
“Wuuuuuuuu, hahaha.” Tiara dan Bisma tertawa bersama, binar-binar kebahagian benar-benar muncul kembali saat ini, kerinduan-kerinduan yang terpendam kini sudah sirna hilang tenggelam, canda gurau merekah bak bunga kasturi yang tersiram embun. Rasa sakit didada seperti sudah hilang meninggalkan jasad.
“Kak, aku seneng, deh.” Ucap Tiara pelan namun masih terdengar oleh Bisma, Bisma mengalihkan posisinya untuk berjongkok didepan adiknya, Bisma memegang erat jemari Tiara lalu menggenggamnya untuk diletakkan didada Bisma.
“Apa yang berasa ditangan kamu?” Tanya Bisma, Tiara memandang lekat manik mata kakaknya itu.
“Aku ngerasain detak jantung kakak.” Lirih Tiara, “Dan, semakin cepat berdetak.” Sambungnya.
“Kamu tau, kakak menuruti kemauan kamu kesini itu jantung kakak udah gak karuan detaknya. Kakak takut terjadi apa-apa sama kamu, semalam mamah pesan ke kakak, kakak harus jagain kamu dan gak akan pernah biarin kamu banyak gerak supaya  kamu nggak capek dan kamu gak batuk ngeluarin darah untuk beberapa saat saja.”
“Kakak takut, Tiara.” Ucap Bisma semakin menjadi.
“Kak Bisma gak usah cemasin aku, aku gak papa dan akan selalu gak papa, kak.” Ucap Tiara meyakinkan, namun Bisma menggeleng.
“Satu-satunya semangat hidup aku itu kakak. Dan, sekarang aku sadar. Aku gak berhak buat nuntut Tuhan mau gimana dan bagaimana Dia mengatur jalan hidup aku, karena aku yakin, Tuhan itu nggak tidur dan nggak akan pernah lupa buat nyelipin kebahagiaan diantara ribuan cobaan umatnya. Aku rela sakit, asal kakak gak sakit, aku rela gak nafas, asal kakak bisa nafas, aku rela harus minum obat pait tiap hari, asal kakak gak ngerasain obat itu. Karena aku gak mau liat kakak kenapa-napa, kalau kakak sakit, semangat aku juga sakit, kak.” Bisma meneteskan air matanya, terharu atas ucapan adiknya, perlahan Tiara melepaskan jemarinya dari genggaman Bisma, dengan sangat lembut jari-jarinya itu menghapus air mata Bisma.
“Kalau semangat aku nangis, terus aku bisa apa, kak?” Sambung Tiara.
“Kakak gak nangis, kok. Kakak gak mau buat semangat kamu ikutan nangis. Main lagi, yuk!” Dengan cepat Bisma mengusap sisa air matanya dan tersenyum.
“Aku mau mengulang masa indah kita dulu, kak. Masa yang udah lama gak kita lakuin.” Pinta Tiara, Bisma mengangguk mengerti kemauan adiknya itu.
“Emmbbb, biasanya kalau abis main gini, kita ke kedai tempat biasa kita minum coklat panas, mau kesana?” Tiara mengangguk semangat menerima tawaran Bisma.
“Yeay! Aku siap mengulang kenangan indah bersama orang yang paaaaling aku sayang!” Ucap Tiara tersenyum sambil menggandeng tangan Bisma, Bisma membalasnya dengan senyuman manis juga. Udara jalan raya mulai menggelitik kulit wajah dan telapak tangan Tiara, hempasan angin sisa kendaraan bermotor kini mulai terhirup oleh Tiara dan Bisma.
“Ekhremmm.” Bisma menoleh ketika Tiara mengeluarkan suara deheman itu.
“Kenapa?” Tanya Bisma, namun Tiara hanya menggeleng dan masih tersenyum. Sebenarya ia tak mau membuat kakaknya khawatir sebab, tenggorokannya mulai gatal dan ia ingin batuk, tapi Tiara menahannya dengan sebuah deheman.

Karena ini masih pagi dan masih jam sarapan, kedai ini sudah padat dikunjungi oleh pekerja dan mahasiswa yang hanya sekedar mengisi perut mereka yang sebentar lagi dibuat untuk beraktifitas.
“Mbak, coklat panas dua ya,” Pesan Bisma, pelayan kedaipun mengangguk.
“Duduk disitu yuk,” Ajak Bisma kepada Tiara.
“Yuk,” Hanya dalam beberapa menit saja, dua cangkir coklat yang Bisma dan Tiara pesanmu sudah siap sedup dimeja.
“Kak Bisma, udah dapet pacar belum?” Tanya Tiara, Bisma langsung menoleh melihat Tiara lalu dia menggeleng.
“Kak Bisma belum kepikiran mau punya pacar.” Jawab Bisma.
“Bohong, katanya ngebet mau nikah kalau udah lulus kuliah, kan kak Bisma udah mau semester akhir.” Ucap Tiara.
“Nggak jadi, hehe. Mau kerja dulu, kalau udah punya uang banyak, baru deh kakak nikah.” Jelas bisma.
“Kak Bisma enak.” Ucap Tiara. “Kadang aku iri sama kak Bisma, kak Bisma sehat, kak Bisma bisa sekolah, kak Bisma udah ngerasain masa-masa SMA, kak Bisma udah ngerasain gimana rasanya pacaran waktu SMA, aku pengen...” Ucap Tiara sedih.
“Heh, kok ngomong gitu, sih.” Sergah Bisma. “Pacaran itu nggak enak, Cuma ngeganggu sekolah aja, iya kalau pacarannya baik-baik, kalau aneh-aneh? Gak enak deh pokoknya, kakak aja nyesel udah keburu pacaran.” Tambah Bisma.
“Itu berarti kakak emang gak bener pacarannya.” Ungkap Tiara.
“Hih, dibilangin juga. Ngeyel mulu,”
“Hehe, enggak-enggak, kak.” Tiara meringis menanggapi Bisma yang kesal akibat ulahnya itu.

Walau tidak semua moment yang dulu Tiara dan Bisma lakukan bisa terulang lagi hari ini, Tiara tetap senang. Bisma kemudian membayar coklat panas yang sudah habis ia dan adiknya minum, dan siang ini mereka akan pulang kerumah.
2 September, 2014. Mengulang kenangan indah dengan orang tersayang di dunia ini.”

**
-Sudut Pandang Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama –

“Uhuh..Uhuk..” Lagi-lagi dadaku terasa nyeri karena batuk, dan sesuatu menyodok tenggorokanku, kali ini aku berlari kewastafel dapur karena tadi aku sedang menonton tv diruang keluarga.
“Uhuk.. Uhuk..” Aku memuntahkan banyak darah kali ini, dadaku sakit luar biasa, tidak seperti biasanya, rasa sesak membuat punggung belakangku juga ikut terasa nyeri dan panas.
“Dek..” Kak Bisma yang baru saja dari luar rumah langsung berlari kecil menghampiriku yang masih menunduk dimuka wastafel karena aku masih terbatuk-batuk. tangan kananku memegang dadaku yang teramat sangat nyeri sedangkan tangan kiriku menahan tubuhku dengan berpegangan wastafel agar tidak terjatuh.
“Uhuk.. Uhuk..” Kak Bisma mengusap punggungku lembut namun itu semua tidak mengurangi rasa sakit didada dan dipunggung belakangku.
“Kak..” Lirihku.
“Mana yang sakit?” Tanya Kak Bisma cemas.
“Kak, aku mimisan..” Ucapku, kak Bisma segera berlari mengambil tissue dan memberikannya padaku, aku membalikkan tubuh dan tiba-tiba rasa sesak seperti tidak bisa bernafas datang kembali, aku menjatuhkan tissuenya dan beralih memegang dadaku, nafasku tersenggal-senggal, tubuhku merosot kebawah. Aku merasakan betapa paniknnya kak Bisma, ia segera menggendongku dan membawaku kerumah sakit, berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak pernah diinginkannya..

**

-Sudut Pandang Normal-

“Keluarga pasien?” Tanya seorang dokter setelah keluar dari ruangan.
“Iya, saya kakaknya.” Ucap Bisma mengalihkan pandangannya melihat dokter dan segera berdiri untuk menghampirinya.
“Kondisi pasien sudah sangat memprihatinkan, tolong dijaga kondisi dan pola hidupnya. Dan mimisan tadi memang dari efek dari pendarahan. Diperkirakan tadi pasien terlalu banyak menghirup udara kotor, benarkah begitu?” Bisma hanya diam, pikirannya berputar mengingat pagi tadi, dan benar!
“Biasanya kalau sudah benar-benar parah dan kanker sudah menjalar kesuluruh tubuhnya, pendarahan bisa keluar dari lubang manapun ditubuhnya.” Jelas dokter, bisma hanya mengangguk tanda mengerti,
“Terima kasih, dok.” Ucap Bisma,
“Saya permisi.” Dokter itu berjalan meninggalkan Bisma. Bisma lalu berjalan masuk kedalam ruang dimana Tiara ditangani, ternyata Tiara sudah sadarkan diri. Ada oksigen yang terpasang dihidungnya, untuk membantunya bernafas.
“Jangan ajak pasien berbicara banyak dulu, nafasnnya masih belum stabil.” Pesan suster, Bisma mengangguk lalu menghampiri Tiara. Tiara melihat Bisma yang mengambil kursi dan hendak duduk disampingnya, Tiara ingin berbicara, namun oksigen ini menghalanginya untuk berbicara. Tiara memegang jari-jari Bisma dan memainkannya.
“Jangan kayak tadi lagi, kakak khawatir.” Ucap Bisma, dan Tiara mengangguk pelan.
“Cepet sembuh ya. Biar cepet pulang.” Kata Bisma mengusap lembut rambut adiknya itu, Tiara hanya mengangguk sedangkan air matanya menetes membasahi bantalnya.
“Aku pikir, hari ini hari terakhirku bersama kak Bisma..” Ucap Tiara dalam hati.

**
-Sudut Pandang Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama-

Setelah dua hari aku dirawat dirumah sakit, akhirnya hari ini aku pulang. Sebenarnya aku sendiri tidak tau untuk apa aku dirawat disana, bukankah hanya menghabiskan uang saja? Toh, dengan aku dirawat disana penyakitku ini tak akan pergi jauh dari tubuhku.
Kak Bisma membaringkanku dikamar, lalu dia mengambil obat dilaci kamarku.
“Ini obatnya, diminum dulu abis itu istirahat.” Ucapnya.
“Iya kak. Oh iya, ambilin kertas sama bolpoin disamping obat aku dong, kak!” Kataku, kak Bismapun menuruti apa mauku dan menyerahkan kertas itu padaku.
“Kak Bisma ambilin kamu air putih dulu, ya?” Aku hanya mengangguk, lalu kak Bisma berjalan keluar dari kamarku.
Aku lalu membuka kertasnya dan ada dua lembar urutan hari kosong yang belum sempat aku isi karena aku dirumah sakit.
“3 September 2014. Tidur.” Itulah yang aku tulis pada lembar ketiga. “4 September 2014. Masih tetap tidur.” Dan itu adalah tulisan dilembar keempat.
 “Masih tersisa tiga lembar lagi, enaknya dibuat nulis apa, ya?” Aku membuka lembar terakhir dan menghitung hari, ternyata tanggal “7 September 2014.” Aku langsung menuliskan tanggalnya dan catatannya. “Berterimakasih kepada orang yang selalu menyayangiku dan menjagaku selama ini.” Aku tersenyum dan sampai saat ini juga didalam hatiku masih tetap bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk melihat dunia ini dan merasakan indahnya melalui hari-hari dengan orang yang sangat berarti dalam hidupku. Entah sampai kapan, yang jelas aku akan selalu menghargai setiap hebusan nafasku, menghargai waktuku setiap detiknya. Karena aku tak akan pernah bisa mengira dan menghitung, kapankah SISA NAFASku akan berakhir, dan waktuku akan terhenti.

**
Aku sangat merasa bosan hari ini, setelah empat hari yang lalu Mamah belum juga pulang dari urusan kerjanya menyusul Papah diluar kota. Ditambah lagi kak Bisma yang udah nggak mau diajak jalan-jalan lagi. Aku menyendekkan tubuhku di kepala sofa karena tidak ada aktifitas lagi yang harus kulakukan. Sebenarnya udah dari bulan-bulan lalu Mamah membelikanku kelinci untuk teman bermainku. Ah, tapi aku sudah lelah merawatnya, kelihatannya juga kelincinya udah sangat bosan ngeliat aku, ditambah lagi selalu aku kasih makan wortel.

“Kak Bisma, aku bosen..” Aku mendekati kak Bisma yang sedang bermain laptop di teras belakang rumah, aku menaruh daguku dipundak kak Bisma.
“Mainan sama kelinci aja,” Ucap kak Bisma.
“Kelincinya aja udah cape ketemu aku terus.” Jawabku cemberut, sebenarnya aku juga tak mau mengganggu kak Bisma, kelihatannya kak Bisma lagi sibuk dengan tugas kuliahnya.
“Kak Bisma lagi buat tugas kuliah, ya?” Tanyaku, dengan santai kak Bisma menutup laptopnya dan melihatku.
“Kamu mau kemana, dek? Mau apa juga?” Tanya kak Bisma.
“Mau punya pacar, haha.” Jawabku asal. Memang, aku ingin sekali merasakan bagaimana indahnya punya kekasih yang sangat aku cintai berada disamping aku terus.
“Hish pacaran? Gak enak tau, kalau udah putus sakitnya tuh disini..” Ungkap kak Bisma tertawa kecil sambil menasehatiku. Memang, dari SMP tuh kak Bisma paling gak pandai kalo masalah cinta-cintaan gitu. Kisah cintanya aja selalu berakhir sadis, sesadis-sadisnya itu kak Bisma ditinggal nikah sama pacarnya waktu kak Bisma masih semester empat, hahahaha.

“Et, tapi kakak punya ide!” Tiba-tiba kak Bisma menarik tanganku untuk mengikutinya naik keatas balkon lantai dua.
“Nah, sekarang kamu berdiri disini ngehadep kesana.” Suruh kak Bisma, aku berdiri dipinggir pagar balkon dan aku hanya menuruti kemauannya saja. Tanpa ada aba-aba lagi, sepasang tangan melingkar diperutku, dan itu tangan kak Bisma. Dia selalu punya ribuan cara untuk membuatku tersenyum. Gak ada alasan buat sedih deh kalo ada kak Bisma disamping aku.
“Dan sekarang tugas kamu, bayangin kalo kak Bisma itu pacar kamu.” Ucap kak Bisma.
“Issshh, gimana bisa? Tetep aja beda, kak.” Protesku. Tangan kak Bisma kini menggenggam erat kedua tanganku yang tadi berada didepan perutku, kak Bisma meletakkan dagunya dipundakku, lalu dia berbisik..
“Bayangin kalau kakak ini cowok impian kamu, cowok pujaan kamu yang setiap hari kamu pikirin, cowok yang kamu sayangi, cowok yang akan nemenin kamu dan berjanji akan terus sama kamu dari hidup sampai mati, cowok yang mencintai kamu apa adanya, yang setiap saat kamu jadiin sandaraan ketika kamu rapuh dan kamu jadiin pangkuan saat kamu tertawa, cowok yang bersumpah dihatinya hanya ada nama kamu, sayang.”
Whuuuuuu terbang.....!!!! Semua ucapan kak Bisma buat aku terbang! Berasa beneran punya pacar. Nyaman sekali berada didekapan kak Bisma. Jadi, beginikan rasanya punya kekasih? Dicintai orang yang kita cintai? Seandainya aku punya banyak kesempatan. Ah, sudahlah. Bagaimanapun, aku harus tetap bersyukur ada kak Bisma disini, aku sayang kak Bisma dan akan selalu sayang kak Bisma.
“5 September 2014. Akhirnya, aku tau bagaimana rasanya pacaran itu, rasanya berada didekat orang yang kita cintai, dan bagaimana itu ketulusan.”

**

Aku merasa aneh dengan pipiku, aku merasa ada yang menyentuhnya. Dengan segera aku membuka mataku, ternyata ada sepasang tangan boneka yang mengelus-elus pipiku. Dan benar sekali, itu boneka panda raksasa yang digerakkan oleh kak Bisma. Duhh, ada-ada aja deh kakak ini...
“Apaan sih, kak? Masih ngantuk, nih.” Ucapku dengan mata sayuku yang masih terasa berat untuk dibuka lebar-lebar.
“Selamat pagi kakak cantik. Kakak cantik banget, deh. Aku mau kenalan, dong.” Aku menahan tawaku saat kak Bisma berbicara seperti anak kecil dan menggerak-gerakkan boneka panda, seolah boneka itu yang lagi berbicara.
“Hay ganteng, nama aku Tiara.” Ucapku tersenyum.
“Gimana semalem tidurnya, kak? Nyenyak banget, nyenyak, atau gak nyenyak sama sekali?” Kak Bisma masih tetap saja menggurauiku.
“Nyenyak banget, dong. Kan sekarang aku udah punya pacar.” Jawabku dengan sedikit sipuan malu, kak Bisma hanya tertawa kecil mendengar jawabanku.
“Syukurlah.” Kemudian kak Bisma mengelus puncak kepalaku. “Kalau gitu, cepetan mandi, kakak tunggu dimeja makan.” Kak Bisma kemudian beranjak keluar dari kamarku, sedangkan aku malah mendekap erat boneka panda pemberian kak Bisma dan enggan untuk bangun. Kenapa pagi ini terasa sangat damai dan nyaman? Seolah semua beban pergi jauh dari tubuhku, kegelisahanpun seperti hilang diterpa mentari saja. Entahlah..

**

Setelah sarapan bersama tadi, kak Bisma izin untuk berangkat kuliah, bilangnya jam satu udah pulang, tapi sampai sesore ini dia belum kembali. Aku sangat bosan dirumah sendiri, apalagi hanya menonton tv dengan ditemani boneka panda itu.
“Huaaah, bosen banget...” Aku menarik nafasku panjang dengan sedikit membanting remote tv itu. Aku bangkit dari dudukku untuk menuju kamar tanpa memperdulikan tv yang masih menyala, kugendong boneka panda pemberian kak Bisma menaiki anak tangga untuk sampai dikamarku. Saat aku memasukinya, tiba-tiba dadaku merasakan panas yang luar biasa, sakit sekali.. Sampai-sampai tubuhku terjatuh ditempat tidur. Tanganku merambat untuk meraih obat yang terdapat dilaciku. Dan... berhasil!
Dengan susah payah aku membuka obat itu, belum sampai masuk kedalam mulutku, aku sudah terbatuk. Darah keluar dari mulutku, aku menutupnya dengan sangat erat agar tak terlalu banyak mengeluarkan darah lagi. Tak kusangka, ternyata darah malah keluar dari hidung dan telingaku, batinku menjerit. Ya Tuhan... aku sangat takut, amat sakit rasanya. Hentikan semua ini Tuhan, aku nggak kuat.
“Kak Bisma...” Lirihku dengan tangisan, aku takut sebelum kak Bisma kembali aku sudah tak bisa melihatnya untuk terakhir kali. Tiba-tiba saja pintu terbuka, kak Bisma datang! Dia kelihatan sangat panik mendapati kondisiku yang sangat mengerikan ini. Dia berlari dan berjongkok disampingku, diberikannya sapu tangan untuk menutup mulutku.
“Kak, obat...” Lirihku, kak Bisma dengan segera mengambilkan obat dan segelas air. Dengan hati-hati aku meneguknya, sedangkan kak Bisma masih mengusap-usap punggungku.
“Mana yang sakit?” Tanya kak Bisma, aku menunjuk punggung belakangku dan dadaku sebelah kanan, amat panas dan sangat nyeri.
“Kamu yang sabar ya, sayang.” Aku hanya mengangguk lemah, kak Bisma kemudian menggendongku untuk rebahan di tempat tidur.
“Kakak ambilin sapu tangan lagi, ya? Buat ngelapin belepotan darahnya.” Lagi-lagi aku hanya mengangguk, aku sudah tak sanggup berbicara, untuk bernafas saja sungguh berat. Aku pernah dengar keterangan dokter saat berbicara dengan Mamah tentang penyakitku ini, jadi setengah dari paru-paruku itu sudah tak berfungsi lagi, sudah memutih dan tidak bisa menampung banyak oksigen lagi. Itu keterangan beberapa bulan lalu. Memang, semakin hari semakin sulit untukku bernafas. Apakah ini akan segera berakhir? Mungkin..
Kak Bisma berjalan masuk mendekatiku dan duduk ditepi ranjangku.
“Mana tangannya?” Aku mengulurkan tanganku dan kak Bisma membersihkan sisa-sisa darahku yang belepotan ditangan, kemudian telinga, hidung, dan terakhir mulut.
“Mau minum lagi?” Tawar kak Bisma, akupun mengangguk. Kak Bisma mengambil segelas air yang terletak diatas laci dekatku. Aku meneguknya, dan rasanya sudah lebih baik.
“Kak, kalau aku kenapa-napa lagi, aku gak usah dibawa kerumah sakit, ya? Ini obat tinggal satu buat nanti malem, terakhir. Terus aku gak usah dibeliin obat lagi, ya?” Ucapku. Kak Bisma mengerutkan keningnya tak mengerti maksudku.
“Kenapa? Harus dibawa, dong. Kalau kenapa-napa gimana?” Aku hanya menggeleng.
“Aku mau Mamah sama Papah pulang sekarang, kak.” Pintaku.
“Ya nggak bisa, dong. Mereka kan sedang diluar kota.” Ucap kak Bisma.
“Yah...” Kataku lesu.
“Eh, kok gitu, sih? Jangan sedih, dong. Kan ada kak Bisma.” Tiba-tiba kedua tangan kak Bisma memegang kedua pipiku, jempolnya mengelus-elus lembut pipiku. Memang, kak Bisma paling nggak suka kalau aku sedih. Entah kenapa...
“Yaudah, istirahat, gih. Biar enakan, atur nafas dulu. Pelan-pelan..” Aku menuruti perintahnya, perlahan aku menarik nafasku, lalu kuhembuskan pelan-pelan dari mulut. Kak Bisma menarik selimutku untuk menutupi sebagian tubuhku dan diletakkannya boneka panda disampingku. Aku menutup kedua mataku untuk istirahat sebentar saja, istirahat dari rasa nyeri dan panas yang menyakitkan itu. Kak Bisma berjalan keluar dari kamarku, aku masih bisa mendengar suara langkah kakiknya dan suara pintu yang kembali tertutup.

-Sudut Pandang Bisma, Pemeran Utama Pelaku Sampingan-

Aku berjalan keluar dari kamar adikku, kulihat dia sesaat lalu kututup pintunya. Tiba-tiba saja aku memegang dadaku, detak jantungku sedikit lebih cepat.
“Kok aku deg-deg-an, ya?” Ucapku dalam hati. “Firasatku nggak enak.” Aku segera menepis firasatku itu. Dan aku segera meninggalkan kamarnya.

**

Malam ini bintang sangat bertabur terang dan banyak. Aku memasuki kamar adikku membawa nampan berisi bubur dan segelas susu untuk makan malamnya. Dari tadi siang sepertinya dia belum makan. Aku melihatnya duduk bersandan dikepala tempat tidurnya memeluk boneka pemberianku sambil mendengarkan lagu yang terkesan sangat lirih, sepertinya dia sangat menyukai boneka itu, mungkin akan menjadi boneka tersayangnya.
“Dek, makan dulu. Biar cepet sehat.” Ucapku.
“Bentar lagi aku sembuh kok, kak.” Aku tak mengerti apa maksudnya. Sembuh? Bagaimana bisa? Disuruh makan aja susah..
“Mendingan kita dengerin lagu bareng-bareng. Lagunya pas bagus nih, kak.” Ucapnya, aku lalu meletakkan nampan itu diatas laci dekatnya. Aku mengambil posisi duduk disampingnya dan ikut menyandankan kepalaku berdampingan dengannya.
“Ishh, sukanya kok lagu yang mellow-mellow?” Ejekku, tapi dia malah menyandarkan kepalanya dipundakku. Bibirnya seperti ikut bernyanyi kecil mengikuti lagu itu.
I can’t sleep tonight.. Wide awake and so confused, everything’s in line. But I am bruised.. I need a voice to echo I need a light to take me home I kind a need a hero is it you..” Dia bernyanyi lirih, aku masih memandangnya. Tanganku terangkat untuk mengusap rambutnya. Entah mengapa, malam ini aku merasakan sangat dekat dengannya, sangat nyaman berada disini. Ini adalah rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya saat sedang bersamanya.
“I never see the forest for the trees, i could really use your melody, baby i’m a little blind, i think it’s time for you to find me..” Dia masih bernyanyi dalam lirih..
“Can you be my nightingale? Sing to me.. I know you’re there.. You could be my sanity. Bring me peace. Sing me to sleep.. Say you’ll be my nightingale.”

-Sudut Pandang Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama-

“Iyadeh, kak Bisma mau kok jadi nightingale-mu, haha.” Aku menghentikan laguku karena dipotong oleh kak Bisma.
“Haha, kalau gitu kak Bisma nyanyi, dong? Buat aku.” Pintaku.
“Enggak mau, ah.”
“Dih, disuruh adikknya juga.” Ucapku, tiba-tiba saja aku teringat oleh lembaran-lembaran kertas origamiku dan sehelai bulu merpati yang kudapati sepekan lalu. Aku lalu mengambilnya dari dalam laci dekat obatku.
“Kak, masa waktu itu aku nemuin kertas-kertas ini sama bulu ini?” Kataku memperlihatkan benda-benda itu.
“Terus?”
“Kertasnya udah mau abis, kak. Tinggal satu, besok kak Bisma beliin lagi, ya?” Suruhku, kak Bisma hanya mengangguk.
“Iya, besok kakak beliin lagi.”
“Terus, kayaknya besok aku udah gak main-main dikamar lagi deh, kak.” Kak Bisma tiba-tiba menatapku serius, aku sedikit kikuk karenanya.
“Emang besok kamu mau main kemana, hem?” Tanya kak Bisma.
“Ketempat yang paliiiiiiiiiiiing indah, kakak belum pernah kesana. Dan belum saatnya kakak kesana.” Kak Bisma masih memandangku serius. “Besok kamar aku tatain yang rapi ya, kak? Terus bulu ini kakak taruh diatas pangkuan boneka pandaku ini.” Lanjutku.
“Engga, ah. Tata sendiri aja, kenapa harus kakak?” Tanya kak Bisma heran.
“Please lah, kak. Besok aku buru-buru, gak sempet buat ngerapiin kamarnya..” Ucapku memelas.
“Iyadeh iya, buat adik kak Bisma yang paling cantik ini apasih yang enggak, haha.” Aku tertawa kecil mendengar pernyataan kak Bisma itu. Lalu kuambil sebuah bolpoin yang terletak disampingku.
“6 September 2014. Bernyanyi menghabiskan malam dengan orang yang paling aku sayang.” Kak Bisma tersenyum ketika melihat tulisanku itu. Sepertinya ia mulai ingin bernyanyi bersamaku.
“Yaudah, yuk. Nyanyi bareng kakak. Kan tadi baru kamu yang nyanyi. Katanya kan bernyanyi menghabiskan malam dengan orang yang paling kamu sayang. Kita abisin malam ini sama-sama, haha.” Dan benar, kak Bisma ingin bernyanyi bersamaku.
“Mau lagu apa, nih?” Tawarku.
“I can be tough, I can be strong, but with you, it’s not like that at all.. Theres a girl who gives a shit.. Behind this wall, You just walk throug it.” Kak Bisma menyanyikan lagu favoritnya dari dulu hingga saat ini, dan aku tau itu. Aku lalu ikut bernyanyi bersamanya.
“And I remember all those crazy thing you said, you left them running through my head, you’re always there, you’re everywhere but right now I wish you were here.. All those crazy things we didn’t think about it just went with it.. You’re always there, you’re everywhere, but right now I wish you were here..” Aku dan Kak Bisma berhenti sejenak dan saling melempar pandang, lalu..
“Damn, damn, damn, what I’d do to have you here, here, here.. I wish you were here.. Damn, damn, damn, what i’d do to have you near, near, near.. I wish you were here.”
“Hahaha, udah kak udah, enggak kuat.” Ucapku sambil memegang dada kananku karena sedikit nyeri akibat terlalu banyak mengeluarkan kata-kata. Kak Bisma mengerti dan langsung menghentikan lagunya. Kak Bisma lalu menyuruhku untuk tidur dan dia lalu menyelimutiku.
“Kak Bisma tidurnya disini aja, ya? Jagain aku..” Pintaku. Kak Bismapun mengangguk, aku memberinya satu bantal dan kak Bisma mengambil selimut di almariku. Kak Bisma akan tidur disofa depan tempat tidurku. Aku melihatinya berbaring dan meletakkan sepasang headset ditelinganya lalu ia memejamkan matanya.
“Semoga kak Bisma dapet jodoh yang lebih cantik dari aku.” Batinku sambil tertawa kecil memandangnya. Aku mencoba memejamkan mataku walaupun dada dan punggungku kembali terasa nyeri dan panas.


**

“Sayang?” Aku menoleh ketika seseorang seperti memanggilku.
“Kamu?” Kataku terkejut mendapati seorang wanita yang pernah aku temui beberapa waktu lalu, dia tersenyum manis kepadaku.
“Sudah waktunya kamu ikut bersamaku. Kamu sudah siap?” Tanyanya lembut.
“Tapi..” Ucapku menggantung.
“Tenanglah, kakakmu tak akan apa. Kamu bisa memberinya kenangan-kenangan indah untuk teman hidupnya.”
“Aku masih ingin bersamanya, tolonglah..” Pintaku.
“Kamu tak perlu khawatir, kamu akan merasa lebih lama bersamanya esok.” Ucapnya tetap pada nada halus, aku hanya bisa apa?

“Arrgghhh?!!”
“Dek, kamu kenapa?” Aku membuka mataku cepat ketika seorang menepuk pipi kananku. Ternyata hanya mimpi! Aku memegang dada kananku, amat sakit rasanya. Rasa nyeri dan panas tiba-tiba datang bertubi-tubi.
“Kakak, sakit..” Lirihku,
“Kak Bisma bawa kerumah sakit, ya?” Tanya kak Bisma, kak Bisma memegang kening dan tengkukku, sangat dingin suhunya.
“Gak usah, kak. Bentar lagi sakitnya hilang, kok.” Ucapku lemas. Tapi kak Bisma tetap bersikeras untuk menggendongku memasuki mobil dan membawaku kerumah sakit. Kali ini kak Bisma tidak menyupir sendiri, melainkan menyuruh sopir rumah.
“Tahan bentar, ya?”
“Kak, panas. Aku gak bisa nafas..” Ucapku lirih. Sungguh, dadaku sangat panas dan nyeri, susah sekali untuk bernafas. Hidungku seakan mati rasa, tak merasakan sedikitpun udara yang masuk melaluinya.
“Arrgghhh.” Desisku pelan menahan sakit yang teramat sangat.

**

-Sudut Pandang Normal-


“Mamah harus pulang sekarang juga! Bisma gak mau tau, siang ini mamah harus udah sampai!” Bisma menutup teleponnya dengan raut sangat kepanikan.
“Semoga semuanya baik-baik saja..” Guman Bisma lirih..

Seorang dokter keluar dari ruangan dimana Tiara dirawat. Ia ingin sekali bertemu namun dokter tak mengijinkan. Bisma berjalan untuk mengintip Tiara dari lubang kaca kecil yang terpasang dipintu. Ia melihat kondisi adiknya yang sangat menghawatirkan. Sampai sekarang Tiara belum sadarkan diri, namun nafasnya tersenggal-senggal, banyak alat medis yang menempel ditubuh Tiara, Bisma semakin tak tega melihatnya.

“Kalau kamu mau pergi, kakak udah ikhlas, dek. Hati-hati, ya?” Bisma meneteskan air matanya ketika melihat Tiara sekarat seperti itu. Bisma benar-benar tak tega melihat adiknya seperti ini, ini malah menyiksa batinnya. Ia harus mengikhlaskan Tiara, ikhlas gak ikhlas, rela gak rela, tetap harus melepaskan adiknya.

Sudah berjam-jam Tiara ditangani, tadi suster sudah keluar dan menjelaskan bahwasannya kondisi Tiara memang sangat menghawatirkan. Bisma menoleh melihat Mamah dan Papahnya datang. Bisma berjalan cepat dan memeluk Mamahnya.

“Nak..” Bisma memeluk mamahnya sekaligus mamah Tiara dengan sangat erat,
“Ikhlasin Tiara ya, Mah..” Lirih Bisma, Mamahnyapun mengangguk pasrah. Papah Bisma mengelus pundak Bisma untuk menenangkannya. Bisma merasakan hatinya sangat sakit, ia merasa akan kehilangan penyemangat hidupnya untuk selama-lamanya.

Dokter keluar dari ruangan Tiara, ada raut tak enak dari wajahnya. Dokter itu berucap bahwa sudah tak ada harapan lagi untuk Tiara, dokter meminta izin untuk melepas semua alat-alat yang terpasang ditubuhnya.

“Kami sudah ikhlas, dok.” Semua menoleh sedih ketika Papah Bisma berucap seperti itu. Sudah tak ada alasan lagi untuk Bisma tak menumpahkan air matanya, mamah Bisma memeluk erat tubuh putranya yang kini tinggal semata wayang itu. Bisma menumpahkan semua bebannya dipundak mamahnya. Kini Bisma tak bisa menyangkal lagi, kenyataan terpahit dihidupnya kini sudah menghampiri.

**

Bisma duduk ditepi tempat tidur Tiara yang kini sudah tertata rapi olehnya, dan ini adalah pesan adiknya semalam. Bisma teringat bahwa Tiara memiliki catatan harian yang ia ceritakan semalam. Bahkan, Bisma belum sempat membelikan lembaran origami yang baru untuk Tiara. Ia mencari kertas itu dilaci, dan ternyata diatas kertas itu ada bulu merpati, Bisma mengambil kedua benda itu. Diletakkannya bulu merpati itu diatas pangkuan boneka panda Tiara sesuai permintaan terakhirnya semalam. Kemudian Bisma membuka dan membaca tulisan Tiara.

“1 September 2014. Terimakasih Tuhan, Kau telah kembalikan orang yang kusayang dalam hidupku” Ini yang kutunggu, ini yang kunanti, ini yang kurindu, ini yang kuinginkan. Terimakasih Tuhan, Kau telah kembalikan satu-satunya orang didunia ini yang begitu berarti dalam hidupku, satu-satunya orang yang mampu membuatku bertahan dari anugerah-Mu pada paru-paruku. Kini dia kembali, kembali seperti dulu, seperti dulu yang menyayangiku, menyanyangiku dan membuatku selalu tersenyum. Aku sangat bersyukur atas ini, Tuhan. Dia kembali ditengah-tengah kondisiku yang sudah tak terkendali ini. Aku akan memanfaatkan waktuku setiap detiknya bersama kakak tersayangku, kak Bisma..

Bisma membuka lembar kedua pada buku diary yang Tiara buat sendiri.

2 September, 2014. Mengulang kenangan indah dengan orang tersayang di dunia ini.” Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan untukku. Mengulang memory-memory indah bersama kakak tercintaku. Walaupun tak seindah dan sesempurna kenangan kami dulu, aku tetap senang. Kak Bisma bilang, kak Bisma itu sayang banget sama aku, dia selalu bisa buat aku tertawa. Aku gak tau apa yang terjadi selanjutnya, aku belum terlalu siap untuk berpisah dengannya. Dia terlalu sempurna untukku. Walau tiga tahun lalu, kak Bisma sempat membenciku karena kesalah fahaman, tapi rasa sayangnya kepadaku tak berkurang sedikitpun. Di SISA NAFASku yang sesingkat ini, aku ingin menciptakan moment-moment indah bersama kak Bisma. Aku takut, jika aku sudah pergi, kak Bisma akan melupakanku. Maka dari itu, aku akan selalu melakukan hal-hal yang bisa membuat kak Bisma mengenangku, selamanya..

Pada lembar inilah, setetes cairan bening keluar dari pelupuk mata Bisma. Bisma membuka lembar ketiga, namun disana kosong. Lalu dibukanya lembar keempat, sama seperti lembar ketiga, kedua lembaran itu kosong. Bisma mencoba mengingat-ngingat hal apa yang dilakukan oleh Tiara dihari itu, dan akhirnya Bisma teringat bahwasannya dua hari itu Tiara sedang dirawat dirumah sakit. Bisma lalu kembali membalikkan lembar selanjutnya, dan sampailah ia dilembar kelima.

“5 September 2014. Akhirnya, aku tau bagaimana rasanya pacaran itu, rasanya berada didekat orang yang kita cintai, dan bagaimana itu ketulusan.”
Hari ini akhirnya keinginanku untuk memiliki seorang kekasih terwujud. Sudah sejak lama aku menginginkan rasa ini hadir dalam hidupku. Apalagi saat umurku sudah remaja dan akan menginjak dewasa. Tapi aku hanya menghabiskan masa-masa SMA dengan tidur-tiduran dan membuang-buang uang Mamah dan Papah untuk membeli obatku yang kurasa tak berarti untukku. Namun tidak semenjak kembalinya kak Bisma, ia seolah bisa mengembalikan dan merubah duniaku. Itu kali pertamanya aku merasakan bagaimana dicintai orang yang aku cintai, bagaimana itu kesaksian kekasih untuk menjaga kita, mendampingi kita. Aku tak menyangka kak Bisma bisa mewujudkan khayalanku yang diambang mustahil itu, dan hanya kak Bisma...

Bisma sedikit menyungging senyum ketika membaca lembaran ini. Ia teringat ide gilanya saat berpura-pura menjadi kekasih adiknya sendiri. Memang, hari itu Bisma sudah kehabisan ide lagi untuk membuat adiknya tersenyum, tapi ia tetap tak mau berhenti untuk membuat Tiara tersenyum. Dia selalu berusaha, demi adiknya..

“6 September 2014. Bernyanyi menghabiskan malam dengan orang yang paling aku sayang.”

“Hanya inikah?” Bisma terlihat bingung ketika mendapati lembar keenam yang hanya tertulis beberapa kata saja. Namun ketika itu Bisma teringat bahwasannya malam itu kondisi Tiara tidak memungkinkan untuk menulis lagi. Ketika Tiara bernyanyi lirih dipundak Bisma, Bisma kembali metitikkan air matanya ketika mengingat itu. Lalu Bisma membalik lembar ketujuh.

“7 September 2014. Berterimakasih kepada orang yang selalu menyayangiku dan menjagaku selama ini.”

Bisma terkejut ketika mendapati tulisan ditanggal kepergian adiknya, dan ini memang tulisannya.

“Jadi selama ini? Tiara udah punya firasat?” Guman Bisma, ia lalu melanjutkan membacanya.

“Entahlah, mengapa aku ingin sekali cepat-cepat menulis dilembar ketujuh ini. Aku ingin berterimakasih dengan orang-orang yang selama ini menyayangi dan menjagaku. Merawatku dan membesarkanku. Mengajariku cara menghargai waktu dan mensyukuri hidup. Mamahku, Papahku, mereka berdua yang telah menimang dan meninabobokkanku dan kak Bisma. Mereka berdua bekerja keras membanting tulang untuk membiayai sekolahku dan sekolah kak Bisma, membuang-buang uang untak berobatku. Mereka berdua adalah orang tua terbaik bahkan terhebat didunia ini bagiku dan bagi kak Bisma.

Lalu kakakku, Bisma Karisma. Nama inilah yang sering aku sebut dilembar-lembar sebelumnya. Satu-satunya orang yang memberiku semangat hidup dan semangat menjalani hari-hariku yang menyakitkan dan menyiksaku. Dia adalah kakak yang sempurna dan luar biasa untukku. Aku sangat menyayanginya, sangat-sangat menyayanginya. Aku bersyukur pada Tuhan karena memiliki kakak sepertinya. Dan aku yakin, sebentar lagi kak Bisma akan menemukan pendamping hidup yang akan menemani hari-harinya setelahku, aku selalu berdoa untukknya, semoga kak Bisma diberikan jodoh terbaik oleh Tuhan. Jodoh yang menerima kak Bisma apa adanya dan setia menyayanginya, melebihi sayangku ke kak Bisma. Aku yakin, aku akan sangat merindukan kenangan-kenangan indah disini bersama kakakku. Tapi aku tau, ini akan lebih baik untukku, karena Tuhan sangat menyayangiku. Ia tak mau membuatku merasakan sakit yang bertubi-tubi setiap harinya. Kini, aku sudah dipenghujung perjalananku, menutup kenangan indah dengan orang-orang yang kusayangi. Dan akhirnya, aku sehat, aku tak sakit lagi. Terimakasih Tuhan...

Bisma akhirnya selesai membaca semua catatan-catatan yang dibuat adiknya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi kedua pipinya. Matanya memerah, baru beberapa jam saja ia tak bersama Tiara, ia sudah merasakan rindu yang teramat dalam.

“Kakak akan menjadikan kenangan-kenangan kita untuk menjadi semangat baru kak Bisma, dek. Kak Bisma janji. Selamat untuk kamu, kamu kuat, kamu kuat ngejalanin ujian Tuhan, kamu berhasil Tiara, dan sampai akhirnya kamu sudah sehat, kamu sudah tak merasakan sakit lagi. Selamat tinggal dan selamat tidur, yang nyenyak ya, sayang? Sering-sering mampir kemimpi kak Bisma, supaya kak Bisma gak kangen-kangen terus sama kamu. Tunggu kakak disurga, kakak yakin kita akan bersama lagi..” Lirih Bisma, ia lalu meletakkan buku harian itu disamping bulu merpati itu juga. Bisma berjalan keluar dari kamar Tiara, ia berhenti sejenak untuk menerawang jauh angannya, mengingat wajah adiknya yang ceria. Namun, kini sudah sangat ceria disurga sana.

“Keep smile, spirit, and get moving on, Bisma!” Ucap Bisma dalam hati, ia menutup perlahan kamar adiknya itu.

Tidak semua kenangan itu buruk dan menyakitkan, tergantung kita yang mengenangnya. Jangan terlalu berangan untuk kembali kemasa lalu, karena itu takkan pernah terjadi. Syukuri hidup yang telah diskenariokan oleh Tuhan, karena setiap cobaan yang dilimpahkan-Nya pasti ada setitik kebahagiaan yang mendalam untuk dijalani. Jangan sia-siakan waktumu untuk melakukan hal yang bisa merugikan dirimu sendiri apalagi orang lain. Karena sesungguhnya hal apapun yang kita lakukan, akan menjadi bekalmu dimasa depan. Dan sesuatu yang terjadi pada dirimu merupakan pelajaran terbaik untukmu.


Sebuah cerita fiksi yang terinspirasi dari Kiki Husadani.
Oleh: @hafidhohasna

Kritikan apapun diterima disini, jangan lupa sarannya eaps ^^ Maklum masih penulis amatiran :D

Komentar

  1. Kereeeeeennnnnnnnn :D
    salam kenal ya, membaca sekaligus belajar disini deh jadinya ;)
    keep posting :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Boleh Singgah

Ramadhan, Lebaran, Juga Nastar yang Tak Sama.

“Halo?” Beberapa tahun belakangan, dua puluh hari pertama Ramadhan aku makan sahur ramai-ramai sama teman, Bay. Terus sepuluh hari berikutnya, sambil nonton ceramah da’i yang lagi ikut lomba di TV sama keluarga aku, makannya juga sambil ngantuk-ngantuk, soalnya kalau di rumah itu kasurnya punya daya tarik berkali-kali lipat dari tempat manapun. Habis sahur terus salat jamaah subuh diimamin Abah aku di musala rumah, terus aku sama adik pasti lanjut tidur sampai siang. “Kamu lagi apa, Bay? Udah buka puasa?” “Disini maghribnya kurang 13 menit lagi,” “Di Malang udah dari 10 menit yang lalu, ini aku lagi buka,” Yang jadi favorit saat buka puasa itu takjil bikinan Ibu aku, tiap hari ganti-ganti terus, kadang es degan ditambah susu, kadang es teler, es buah, kolak pisang, tapi yang paling favorit aku tetep es degan, sih. Soalnya degannya dari pohon samping rumah, yang manjat Abah aku, dulu di rumah ada dua pohon kelapa, sekarang cuma sisa satu. Puas banget balas dendam pas buk...

Ketika Jatuh Cinta, Namun Tak Lagi Untukku.

Di sebuah platform sosial mediaku, 2 hari lalu aku mendapat sebuah shoutout anonym , yang pertanyaannya kurang lebih begini, “Jika kamu menyayangi seseorang bahkan tidak bisa berhenti peduli padanya, sedangkan orang itu justru menyayangi 2 perempuan atau lebih dalam hidupnya, kamu akan apa di posisi itu?” Aku berpikir sejenak, menarik napasku berat sebelum menjawab shoutout tersebut, ingatankan berputar pada kisahku dua tahun ke belakang—hingga saat ini, karena saat ini pun aku juga berada dalam posisi serupa. Lucunya, dengan orang yang berbeda. Dua tahun lalu, aku memulai hubungan dengan salah satu partner kerjaku, proses pdkt kami tidak lama, namun aku lupa sejak kapan aku mulai benar-benar menyayanginya, karena yang aku tau, rasa itu hadir karena setiap harinya dia selalu berusaha untuk menumbuhkan rasa sayangku padanya, “ Aku bakal bikin kamu juga sayang sama aku, kek aku yang sayang kamu, ” ucapnya dari seberang telpon sana, iya, kami long distance relationship . Sebenarnya a...