-Sudut Pandang Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama-
Suara ayunan yang
berdecit semakin menambah suasana sendu di taman ini, satu-satunya ayunan yang
berpenghuni diantara ayunan-ayunan yang lain. Taman yang sepi dan matahari yang
sudah dipenghujung barat tak membuatku untuk beranjak dan pulang. Kilauan
mataku yang berbinar sudah dari tadi meredup, tergantikan oleh cairan bening
yang mengalir membasahi kedua pipiku. Suatu penyesalan yang muncul dalam
benakku, sehingga membuatku terdiam melamun memikirkan suatu hal, hal yang bisa
membuat orang yang ku kasihi tak menyayangiku lagi.
“Aku merindukanmu, kak.
Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu seperti dulu? Yang selalu ada untuk
membuatku tertawa. Andai aku bisa mengatakan, pasti akan kukatakan dari dulu,
tapi aku tak mau membuatmu cemas.” Lirihku disela kesenduanku.
“Tiara!” Aku tersentak
kaget ketika sebuah suara yang amat keras memanggil namaku dari belakang ayunan
yang aku duduki, aku menoleh kaget ketika seorang pemuda sudah berdiri disana
dengan raut wajah yang sepertinya ingin marah. Dengan segera aku menghapus air
mataku dan aku langsung berdiri menghadap pemuda itu.
“Sudah berapa kali aku
bilang? Jangan sekali-kali keluar rumah tanpa izinku atau izin Mamah! Lihat, baru saja aku dimarahi
Mamah karena aku dianggap teledor menjagamu!” Pemuda itu memakiku, aku hanya
bisa diam dan menundukkan kepalaku mendengar kakakku marah seperti itu. Ini
sudah biasa terjadi, bahkan setiap hari menjadi hidangan untukku, selalu dan
selalu mendapat bantakan dari kakak yang dulu sangat menyayangi dan mengasihiku
layaknya kasih sayang antara kakak dan adiknya. Tapi kini? Sudah sirna seperti
ditelan bumi. Dulu ya dulu...
“Maaf, kak.” Ucapku
dengan nada seperti ketakutan.
“Basi! Selalu itu yang
kamu ucapkan! Aku muak!” Ucapnya dengan nada tinggi. “Ayo pulang!” Pemuda itu
menarik kasar tanganku agar aku mengikuti langkahnya.
***
“Bisakah kamu lebih
halus dengan adikmu sendiri, Bisma?” Tegur Mamah saat aku dan Kak Bisma sudah
sampai dirumah.
“Salah lagi ya, Mah?
Apasih yang ada dipikiran Mamah? Kenapa selalu Tiara yang Mamah bela dan Mamah
sayang? Bisma apa? Bisma bosen, Mah! Sudah tiga tahun lebih Mamah pilih kasih
sama Bisma!” Kak Bisma melepas kasar tanganku yang daritadi ia genggam.
“Mamah gak pilih kasih,
kamu dan Tiara sama-sama anak Mamah, dua malaikat yang sangat Mamah sayangi.
Jangan pernah beranggapan Mamah membedakan antara kamu dan adik kamu, Bisma.”
Ucap Mamah dengan lembut.
“Terserah deh, Mamah
emang gak pernah ngerasa!” Kak Bisma melangkahkan kakinya pergi meninggalkan
Mamah dan aku. Aku menatap punggung kak Bisma yang mulai menjauh.
“Sampai kapan, Mah? Aku
kangen sama kak Bisma yang dulu, aku gak bisa terus-terusan kayak gini,” Ucapku
dengan mata berkaca-kaca, aku seperti ingin menangis lagi sore ini. Pelupuk
mataku serasa tak bisa menahan air yang akan melaluinya.
“Sabar sayang, Mamah
akan berusaha untuk melakukan apapun maumu, demi kamu!” Mamah mengelus lembut
rambutku yang tergerai tak beraturan akibat diterpa angin saat pulang tadi.
“Ini semua gara-gara
penyakit mengerikan itu, Mah! Arrrgghhh, penyakit sialan!” Aku memukul kasar
dadaku, aku seperti depresi dengan semua ini. Aku menyesali kehendak Tuhan yang
ku anggap seperti tidak adil begini. Kenapa semua ini harus Tuhan limpahkan
kepadaku? Kenapa? Tuhan tak sayang lagi padaku? Iya? Semua pertanyaan itu berjibum
mengelilingi otakku.
“Sudah sayang, sudah.
Jangan malah menyiksa diri kamu sendiri, Tuhan itu adil, dan Ia sangat menyayangi
kamu.” Mamah dengan cepat mendekap tubuhku, air mata keduanya tak sanggup lagi
untuk dibendung, seperti sungai yang mengalir deras tanpa penghalang.
***
-Sudut Pandang
Normal-
Tok tok tok~
Dengan langkah gontai
Bisma menghampiri pintu kamarnya dan membukanya, ia hanya menarik nafasnya
paksa ketika mengetahui siapa orang yang telah mengetuk pintu kamarnya itu.
“Ada apa, Mah?” Tanya
Bisma dengan ekspresi datar.
“Mamah mau bicara sama
kamu,” Mamah Bisma lalu melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam kamar Bisma
dan mendahului langkah putranya itu. Mamah Bisma duduk ditepi ranjang tempat
tidur Bisma, lalu Bisma mengikuti untuk duduk disamping Mamahnya sambil
memangku sebuah guling.
“Kamu merasa apa selama
lebih kurang tiga tahun ini, Bisma?” Tanya Mamah langsung.
“Merasa apa emang?
Merasa dipilih kasihin!” Tangkas Bisma cepat.
“Itu bukan maksud Mamah
untuk tujuan Mamah, Bisma. Dan saatnya malam ini kamu mengetahui semuanya
sebelum terlambat untuk kamu membuat lagi senyuman bahagia dari bibir adikmu,”
Bisma melongoh mendengar ucapan Mamahnya, sepersen-pun ia tak mengerti apa
maksud Mamahnya berbicara seperti itu.
“Mak Maksud Mamah?”
Tanya Bisma menautkan sebelah alisnya.
“Tiara, mengidap
penyakit kanker paru-paru,” Ucap
Mamah Bisma, dengan mata membola Bisma mendengar jawaban dari Mamahnya, “Tiara
divonis dokter hanya mampu bertahan selama dua bulan saja, saat ia mengetahui
usianya tinggal hitungan hari, ia menjadi putus asa. Ia sering menangis, dan
cuma kamu penyemangat untuknya, cuma kamu yang bisa menjadi obat untuknya, dan
cuma kamu ia bisa membantah vonis dokter bahwa ia hanya mampu bertahan selama
dua bulan.” Bisma mulai meneteskan air matanya ketika mengetahui suatu hal yang
mampu membuatnya merasakan lemah yang amat dalam, selama ini ternyata Bisma
sudah menyia-nyiakan waktunya bersama orang yang ia kasihi dengan sebuah
amarah.
“Demi ingin lebih lama
bersama kakaknya, ia mampu bertahan selama lebih dari tiga tahun, Bisma! Dan,
Mamah juga tidak tau, selama apakah ia mampu bertahan kembali? Sudah sebulan
ini darah keluar dari mulut dan hidungnya, Mamah sangat khawatir. Tapi ia tetap
mengatakan jika Tiara gak papa, Mah.
Mamah jangan khawatirin Tiara, supaya kak Bisma gak tau dan juga gak ikut
ngekhawatirin Tiara.” Bukan Cuma Bisma yang menangis, dengan kata-kata yang
terucap sendiri, Mamah juga ikut meneteskan air matanya. Sesenggukan ia masih
bisa bercerita.
“Apa yang harus Bisma
lakuin, Mah? Bisma banyak salah sama Tiara..” Lirih Bisma. Mamahnya hanya
menggeleng.
“Sebelum SISA NAFASnya
berakhir, Bisma janji, Bisma tak akan biarkan setetes air mata kesedihan
terbuang dari mata Tiara, Mah. Bisma janji! Dan Tiara harus sembuh.” Dengan
cepat bisma menangkas air matanya, ia memilih untuk keluar kamar dan segera
berlari menuju kamar Tiara, tanpa sebuah ketukanpun, Bisma membuka kamar Tiara.
Dan, kosong~
“Tiara? Kemana dia?”
Ucap Bisma dalam hati ketika tak menemukan orang yang ia cari, tiba-tiba saja..
“Uhuk Uhuk..” Bisma
tersentak ketika sebuah suara batuk terngiang jelas ditelinganya, kedua bola mata
Bisma bergerak mengedarkan pandangannya untuk mencari asal suara itu.
“Di kamar mandi!” Benar
saja, dengan cepat Bisma dapat menemukan asal suara batuk itu ketika suara
percikan air kran juga mulai terdengar. Dengan cepat Bisma menuju kamar mandi
di kamar Tiara lalu membukanya,
“Tiara!” Pekik Bisma,
dengan segera Bisma merangkul tubuh adiknya yang seperti hilang kendali itu,
tangan Tiara dengan susah payah memegang erat ujung wastafel dan tangan kirinya
memegangi dadanya.
“Apanya yang sakit?”
Tanya Bisma panik, nafas Tiara berderu tak beraturan. Dengan sempoyongan ia
menggeleng.
“Jangan mengelak, kakak
sudah tau semuanya.” Tiara menatap nanar manik mata Bisma, apa yang Tiara
takutkan kini sudah menghampirinya. Suatu hal yang besar dengan hati-hati Tiara
sembunyikan selama tiga tahun ini ternyata sudah diketahui oleh kakaknya.
-Sudut Pandang Aku,
Pemeran Utama Pelaku Utama-
“Uhuk uhuk..” Lagi dan
lagi leherku seperti tercekat, dan ada sesuatu yang menyodok tenggorokanku yang
ingin segera kukeluarkan, amat sakit rasanya. Kak Bisma masih merangkul erat
pundakku, dan ini juga yang sangat aku rindukan, bisa berada didekat kak Bisma
lagi. Tanpa terkendali, darah segar berwarna merah itu keluar dari dalam
tubuhku melalui batukku tadi, aku sangat ketakutan, apakah aku akan mati malam
ini? Jika iya, aku rela Tuhan, asalkan disampingku tetap ada kak Bisma yang
mendampingiku.
“Yang mana yang sakit,
Tiara?” Tanya kak Bisma lagi, tangan kananku mulai melepas wastafel yang
tadinya aku pegang erat untuk menahan tubuhku agar tak terjatuh, aku menunjuk
punggung belakangku, dan pandangan kak Bisma beralih mengikuti tanganku.
“Punggung? Apa yang kamu
rasakan?” Tanya kak Bisma lagi.
“Panas, Kak. Dadaku
nyeri, susah buat nafas.” Ucapku berat dengan suara yang parau, karena didunia
ini seperti tak ada oksigen lagi, sangat sulit untukku bernafas, sesenggalan
aku terbatuk kembali.
“Kita kerumah sakit ya?”
Aku hanya menggeleng.
“Terus gimana, Tiara?
Kakak gak bisa liat kamu terus-terusan kesakitan gini, kakak gak tega.” Ucap
kak Bisma.
“Aku mau tidur aja, kak.” Jawabku, kak Bisma
hanya bisa menurut apa kemauanku itu. Dengan sigap kak Bisma menuntunku menuju
tempat tidurku, kak Bisma menyelimuti sekujur badanku.
“Kak..” Lirihku, kak Bismapun
menoleh.
“Apa?” Jawabnya.
“Tiara kangen sama kak
Bisma,” Kak Bisma hanya mengukir sebuah senyum tipis dibibirnya, kakinya mulai
terayun untuk melangkah dan mendekatiku.
“Kakak juga kangen sama
kamu tau! Kangen narik hidung kamu, haha.” Kak Bisma menarik gemas hidung
mancungku itu, suasana suka kembali datang menyelimuti ruangan ini, canda gurau
mulai terdengar diantaraku dan kak Bisma. Mamah memandang sendu kedua buah
hatinya yang sekarang kembali bersatu dari ambang pintu kamarku.
***
Fajar kembali datang,
matahari dengan malu-malu muncul dari ufuk sakura. Aku masih terlelap dalam
dunia mimpiku, silauan cahaya pagi dan kicauan burung yang sedang menari tak
membuat gadis ini untuk membuka matanya.
“Bersiaplah, sayang. Aku
menantimu disana, kamu akan lebih mempunyai banyak sekali teman, Tuhan lebih
menyayangimu.” Aku terpelongoh kagum mendapati seorang wanita dewasa bersayap
putih yang teramat cantik itu, wanita tersebut menggenggam erat tanganku, aku
hanya bisa membisu tak bergutik, tak tau apa yang harus kulakukan.
“Kebahagian dan
keinginanmu sudah terpenuhi, bukan? Kakakmu sudah kembali, kini saatnya kamu
ikut bersamaku.” Wanita itu tersenyum manis kepadaku.
“Hah?!??” Aku sangat
bingung mendapati semua ini. Apa yang harus aku lakukan? Sebenarnya ada
perasaan takut yang menyelimutiku.
“Tujuh hari.” Ucapnya,
dalam sekejap saja wanita itu sudah menghilang, meninggalkan sehelai bulu dari
sayapnya. Bulu yang putih bersih itu kuambil, aku memperhatikan glentir demi
glentir bulu itu.
“Hah?!??” Aku terbangun saat setelah sebuah mimpi
mengagetkanku, nafasku terengah-engah tak beraturan. Kedua tanganku seperti
sedang mengepalkan sesuatu. Tangan kiriku menggenggam erat ujung selimut biruku
dan tangan kananku..
“Astaga! Bagaimana
bisa?” Aku terkejut ketika mendapati tangan kananku sedang menggenggam sehelai
bulu putih, seperti bulu burung merpati. Dan aku teringat, jika bulu itu aku
dapati dari mimpiku tadi!
“Uhuk uhuk.” Seperti
tiada hari tanpa sakit, dadaku kembali nyeri. Dengan cepat bulu itu aku
masukkan kedalam laci meja belajarku, dan aku segera berlari menuju kamar mandi
yang berada dikamarku. Muntahan darah segar itu kembali kukeluarkan, amat sakit
rasanya. Dan ini sudah setiap hari terjadi setelah tiga tahun lalu aku divonis
mengidap kanker ganas yang menyerang paru-paruku. Sedih? Pasti, siapa yang
tidak sedih ketika mengetahui nafas kita tak akan berderu lebih lama lagi? Jika
aku bisa dan diizinkan oleh Tuhan, aku ingin bertanya kepada orang-orang yang
lebih dulu meninggalkan dunia ini. Apakah mati itu? Bagaimana rasanya? Apakah
sakit? Atau akan lebih menyenangkan kehidupan dialam sana? Dan itu mustahil!
Jika semua orang bisa bertanya seperti itu, jelas Tuhan tidak akan menyiapkan
kejutan-kejutan bagi insan didunia ini.
Aku menyalakan kran dan
mengambil tissue, dengan perlahan kubasuh sisa darah yang masih tersisa
disekitar mulutku. dadaku masih sangat nyeri, aku segera berjalan menuju tempat
tidurku, aku berniat melihat jam dan segera mandi bersiap untuk berangkat.
Sudah jam tujuh! Oh Tuhan, aku terlambat! Seketika bayangan itu hilang dari
otakku ketika aku teringat jika kak Bisma sudah mengetahui semuanya, kenapa aku
harus berpura-pura lagi? Kakiku mulai terayun menuju tempat belajarku dan
kuambill helai bulu tadi. Aku menautkan sebelah alisku ketika mendapati
lembaran-lembaran kertas origami berwarna lengkap tujuh pelangi disamping bulu
itu. Aku sangat bingung, perasaan aku tak pernah mempunyai bahkan menaruh
kertas itu.
“Kertas siapa?” Tanyaku
dalam hati, tanganku mulai bergerak membalik-balik lembar kertas itu. Ada
tujuh! Akan kuapakan tujuh kertas berwarna indah ini? Lalu sebuah senyuman
menyungging manis dibibirku.
“Akan kujadikan buku
harian saja!” Pikirku, aku mengambil sebuah staples dilaciku dan kujadikan
lembaran-lembaran itu menjadi satu seperti buku harian. Lalu kuambil juga
bolpoin, kutulis angka ‘1’
“Ini tulisan buat yang
kemarin” Ucapku,
“1
September 2014. Terimakasih Tuhan, kau telah kembalikan orang yang kusayang
dalam hidupku”
“Jadi seandainya mataku
sudah terpejam untuk selamanya, mereka bisa membaca apa yang aku tulis disisa hidupku
ini.” Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka, aku segera menoleh. Oh, ternyata
kak Bisma. Aku segera memasukkan bulu dan kertas itu kembali kedalam laciku.
-Sudut pandang Bisma,
Pemeran Utama Pelaku Sampingan-
“Jam segini belum
berangkat?” Tanyaku kepada Tiara, ia hanya tersenyum manis menanggapi
pertanyaanku, aku sangat bingung dibuatnya, ditanya kok malah senyum? Bukannya
sekarang sudah terlalu siang untuk jenjang pendidikannya yang sudah SMA?
“JIKA aku sehat, aku pasti sekolah, kak. Dan
aku akan menemukan seorang teman sejati yang nantinya akan menemaniku, aku akan
menemukan seorang guru yang tulus memberiku pengetahuan, dan aku akan bersenang
dengan kenangan-kenangan indah diusia remajaku ini, tapi itu hanya JIKA!” Ucap
Tiara lirih.
“Jadi?” Tanyaku
menggantung.
“Iya, tiga tahun ini aku
udah gak sekolah, kak. Kakak gak tau, kan? Setiap pagi aku pake seragam sekolah
itu aku kemana? Kesekolah? Tidak, aku kerumah sakit, kak.” aku terdiam, separah
itukah penderitaan adikku? Tidak punya teman? Tidak bisa bebas dengan dunia
pendidikannya? Padahal, waktu kecil, Tiara sering bilang bahwa dia pengen jadi
dokter, tapi apa? Dan itu juga hanya JIKA. Tapi selama ini? Aku adalah anak
yang sehat tapi malah menyia-nyiakan masa pendidikannya, sedangkan adikku ingiiiiiiin
sekali merasakan yang namanya sekolah.
“Kak...” Panggil Tiara
padaku, aku menatapnya.
“Apa?”
“Kakak hari ini gak ada
kelas kuliah, kan?” Aku hanya mengangguk, “Kita pergi ketaman tempat biasa dulu
kita main ya, kak?” Ucap Tiara sembari tersenyum, dan lagi aku hanya mengangguk
mengamini permintaannya.
***
-Sudut pandang normal-
“Eh, maskernya jangan
diturunin.” Tahan Bisma pada Tiara yang hendak melepas maskernya. Ia menaikkan
masker Tiara.
“Gak enak ka, malah
susah buat nafas. Lagiankan disini gak terlalu banyak polusi.” Ucap Tiara
kembali menurunkan maskernya.
“Ngeyel,” Ucap Bisma.
“Kak, main ayunan kayak
dulu yuk, hehe.” Tiara menarik-narik tangan kakaknya, Bisma. Bisma tersenyum
lalu merangkul Tiara menuju ayunan. Dengan refleks Tiara menduduki ayunan itu
dan Bisma berdiri tepat dibelakang Tiara.
“Kak, ayunin yang
kenceng ya!!!” Ucap Tiara, Bisma mengangguk lalu menarik ayunan Tiara untuk
mengambil ancang-ancang.
“Siap????” Tanya Bisma
memastikan.
“Siap, kak.” Ucap Tiara
semangat. Dan....
Syuuuuu................!!!
“Wuuuuuuuu, hahaha.”
Tiara dan Bisma tertawa bersama, binar-binar kebahagian benar-benar muncul
kembali saat ini, kerinduan-kerinduan yang terpendam kini sudah sirna hilang
tenggelam, canda gurau merekah bak bunga kasturi yang tersiram embun. Rasa
sakit didada seperti sudah hilang meninggalkan jasad.
“Kak, aku seneng, deh.”
Ucap Tiara pelan namun masih terdengar oleh Bisma, Bisma mengalihkan posisinya
untuk berjongkok didepan adiknya, Bisma memegang erat jemari Tiara lalu
menggenggamnya untuk diletakkan didada Bisma.
“Apa yang berasa
ditangan kamu?” Tanya Bisma, Tiara memandang lekat manik mata kakaknya itu.
“Aku ngerasain detak
jantung kakak.” Lirih Tiara, “Dan, semakin cepat berdetak.” Sambungnya.
“Kamu tau, kakak
menuruti kemauan kamu kesini itu jantung kakak udah gak karuan detaknya. Kakak
takut terjadi apa-apa sama kamu, semalam mamah pesan ke kakak, kakak harus
jagain kamu dan gak akan pernah biarin kamu banyak gerak supaya kamu nggak capek dan kamu gak batuk ngeluarin
darah untuk beberapa saat saja.”
“Kakak takut, Tiara.”
Ucap Bisma semakin menjadi.
“Kak Bisma gak usah
cemasin aku, aku gak papa dan akan selalu gak papa, kak.” Ucap Tiara
meyakinkan, namun Bisma menggeleng.
“Satu-satunya semangat
hidup aku itu kakak. Dan, sekarang aku sadar. Aku gak berhak buat nuntut Tuhan
mau gimana dan bagaimana Dia mengatur jalan hidup aku, karena aku yakin, Tuhan
itu nggak tidur dan nggak akan pernah lupa buat nyelipin kebahagiaan diantara
ribuan cobaan umatnya. Aku rela sakit, asal kakak gak sakit, aku rela gak
nafas, asal kakak bisa nafas, aku rela harus minum obat pait tiap hari, asal
kakak gak ngerasain obat itu. Karena aku gak mau liat kakak kenapa-napa, kalau
kakak sakit, semangat aku juga sakit, kak.” Bisma meneteskan air matanya,
terharu atas ucapan adiknya, perlahan Tiara melepaskan jemarinya dari genggaman
Bisma, dengan sangat lembut jari-jarinya itu menghapus air mata Bisma.
“Kalau semangat aku
nangis, terus aku bisa apa, kak?” Sambung Tiara.
“Kakak gak nangis, kok.
Kakak gak mau buat semangat kamu ikutan nangis. Main lagi, yuk!” Dengan cepat
Bisma mengusap sisa air matanya dan tersenyum.
“Aku mau mengulang masa
indah kita dulu, kak. Masa yang udah lama gak kita lakuin.” Pinta Tiara, Bisma
mengangguk mengerti kemauan adiknya itu.
“Emmbbb, biasanya kalau
abis main gini, kita ke kedai tempat biasa kita minum coklat panas, mau
kesana?” Tiara mengangguk semangat menerima tawaran Bisma.
“Yeay! Aku siap
mengulang kenangan indah bersama orang yang paaaaling aku sayang!” Ucap Tiara
tersenyum sambil menggandeng tangan Bisma, Bisma membalasnya dengan senyuman
manis juga. Udara jalan raya mulai menggelitik kulit wajah dan telapak tangan
Tiara, hempasan angin sisa kendaraan bermotor kini mulai terhirup oleh Tiara
dan Bisma.
“Ekhremmm.” Bisma
menoleh ketika Tiara mengeluarkan suara deheman itu.
“Kenapa?” Tanya Bisma,
namun Tiara hanya menggeleng dan masih tersenyum. Sebenarya ia tak mau membuat
kakaknya khawatir sebab, tenggorokannya mulai gatal dan ia ingin batuk, tapi
Tiara menahannya dengan sebuah deheman.
Karena ini masih pagi
dan masih jam sarapan, kedai ini sudah padat dikunjungi oleh pekerja dan
mahasiswa yang hanya sekedar mengisi perut mereka yang sebentar lagi dibuat
untuk beraktifitas.
“Mbak, coklat panas dua
ya,” Pesan Bisma, pelayan kedaipun mengangguk.
“Duduk disitu yuk,” Ajak
Bisma kepada Tiara.
“Yuk,” Hanya dalam
beberapa menit saja, dua cangkir coklat yang Bisma dan Tiara pesanmu sudah siap
sedup dimeja.
“Kak Bisma, udah dapet
pacar belum?” Tanya Tiara, Bisma langsung menoleh melihat Tiara lalu dia
menggeleng.
“Kak Bisma belum
kepikiran mau punya pacar.” Jawab Bisma.
“Bohong, katanya ngebet
mau nikah kalau udah lulus kuliah, kan kak Bisma udah mau semester akhir.” Ucap
Tiara.
“Nggak jadi, hehe. Mau
kerja dulu, kalau udah punya uang banyak, baru deh kakak nikah.” Jelas bisma.
“Kak Bisma enak.” Ucap
Tiara. “Kadang aku iri sama kak Bisma, kak Bisma sehat, kak Bisma bisa sekolah,
kak Bisma udah ngerasain masa-masa SMA, kak Bisma udah ngerasain gimana rasanya
pacaran waktu SMA, aku pengen...” Ucap Tiara sedih.
“Heh, kok ngomong gitu,
sih.” Sergah Bisma. “Pacaran itu nggak enak, Cuma ngeganggu sekolah aja, iya
kalau pacarannya baik-baik, kalau aneh-aneh? Gak enak deh pokoknya, kakak aja
nyesel udah keburu pacaran.” Tambah Bisma.
“Itu berarti kakak emang
gak bener pacarannya.” Ungkap Tiara.
“Hih, dibilangin juga.
Ngeyel mulu,”
“Hehe, enggak-enggak,
kak.” Tiara meringis menanggapi Bisma yang kesal akibat ulahnya itu.
Walau tidak semua moment
yang dulu Tiara dan Bisma lakukan bisa terulang lagi hari ini, Tiara tetap
senang. Bisma kemudian membayar coklat panas yang sudah habis ia dan adiknya
minum, dan siang ini mereka akan pulang kerumah.
“2 September, 2014.
Mengulang kenangan indah dengan orang tersayang di dunia ini.”
**
-Sudut Pandang
Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama –
“Uhuh..Uhuk..” Lagi-lagi
dadaku terasa nyeri karena batuk, dan sesuatu menyodok tenggorokanku, kali ini
aku berlari kewastafel dapur karena tadi aku sedang menonton tv diruang
keluarga.
“Uhuk.. Uhuk..” Aku
memuntahkan banyak darah kali ini, dadaku sakit luar biasa, tidak seperti
biasanya, rasa sesak membuat punggung belakangku juga ikut terasa nyeri dan
panas.
“Dek..” Kak Bisma yang
baru saja dari luar rumah langsung berlari kecil menghampiriku yang masih
menunduk dimuka wastafel karena aku masih terbatuk-batuk. tangan kananku
memegang dadaku yang teramat sangat nyeri sedangkan tangan kiriku menahan
tubuhku dengan berpegangan wastafel agar tidak terjatuh.
“Uhuk.. Uhuk..” Kak
Bisma mengusap punggungku lembut namun itu semua tidak mengurangi rasa sakit
didada dan dipunggung belakangku.
“Kak..” Lirihku.
“Mana yang sakit?” Tanya
Kak Bisma cemas.
“Kak, aku mimisan..”
Ucapku, kak Bisma segera berlari mengambil tissue dan memberikannya padaku, aku
membalikkan tubuh dan tiba-tiba rasa sesak seperti tidak bisa bernafas datang
kembali, aku menjatuhkan tissuenya dan beralih memegang dadaku, nafasku
tersenggal-senggal, tubuhku merosot kebawah. Aku merasakan betapa paniknnya kak
Bisma, ia segera menggendongku dan membawaku kerumah sakit, berharap tidak
terjadi sesuatu yang tidak pernah diinginkannya..
**
-Sudut Pandang
Normal-
“Keluarga pasien?” Tanya
seorang dokter setelah keluar dari ruangan.
“Iya, saya kakaknya.”
Ucap Bisma mengalihkan pandangannya melihat dokter dan segera berdiri untuk
menghampirinya.
“Kondisi pasien sudah
sangat memprihatinkan, tolong dijaga kondisi dan pola hidupnya. Dan mimisan
tadi memang dari efek dari pendarahan. Diperkirakan tadi pasien terlalu banyak
menghirup udara kotor, benarkah begitu?” Bisma hanya diam, pikirannya berputar
mengingat pagi tadi, dan benar!
“Biasanya kalau sudah
benar-benar parah dan kanker sudah menjalar kesuluruh tubuhnya, pendarahan bisa
keluar dari lubang manapun ditubuhnya.” Jelas dokter, bisma hanya mengangguk
tanda mengerti,
“Terima kasih, dok.”
Ucap Bisma,
“Saya permisi.” Dokter
itu berjalan meninggalkan Bisma. Bisma lalu berjalan masuk kedalam ruang dimana
Tiara ditangani, ternyata Tiara sudah sadarkan diri. Ada oksigen yang terpasang
dihidungnya, untuk membantunya bernafas.
“Jangan ajak pasien
berbicara banyak dulu, nafasnnya masih belum stabil.” Pesan suster, Bisma
mengangguk lalu menghampiri Tiara. Tiara melihat Bisma yang mengambil kursi dan
hendak duduk disampingnya, Tiara ingin berbicara, namun oksigen ini
menghalanginya untuk berbicara. Tiara memegang jari-jari Bisma dan
memainkannya.
“Jangan kayak tadi lagi,
kakak khawatir.” Ucap Bisma, dan Tiara mengangguk pelan.
“Cepet sembuh ya. Biar
cepet pulang.” Kata Bisma mengusap lembut rambut adiknya itu, Tiara hanya
mengangguk sedangkan air matanya menetes membasahi bantalnya.
“Aku pikir, hari ini
hari terakhirku bersama kak Bisma..” Ucap Tiara dalam hati.
**
-Sudut Pandang
Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama-
Setelah dua hari aku
dirawat dirumah sakit, akhirnya hari ini aku pulang. Sebenarnya aku sendiri
tidak tau untuk apa aku dirawat disana, bukankah hanya menghabiskan uang saja?
Toh, dengan aku dirawat disana penyakitku ini tak akan pergi jauh dari tubuhku.
Kak Bisma membaringkanku
dikamar, lalu dia mengambil obat dilaci kamarku.
“Ini obatnya, diminum
dulu abis itu istirahat.” Ucapnya.
“Iya kak. Oh iya,
ambilin kertas sama bolpoin disamping obat aku dong, kak!” Kataku, kak Bismapun
menuruti apa mauku dan menyerahkan kertas itu padaku.
“Kak Bisma ambilin kamu
air putih dulu, ya?” Aku hanya mengangguk, lalu kak Bisma berjalan keluar dari
kamarku.
Aku lalu membuka
kertasnya dan ada dua lembar urutan hari kosong yang belum sempat aku isi karena
aku dirumah sakit.
“3 September 2014.
Tidur.” Itulah yang aku tulis pada lembar ketiga. “4
September 2014. Masih tetap tidur.” Dan itu adalah tulisan dilembar
keempat.
“Masih tersisa tiga lembar lagi, enaknya
dibuat nulis apa, ya?” Aku membuka lembar terakhir dan menghitung hari,
ternyata tanggal “7 September 2014.” Aku langsung menuliskan tanggalnya
dan catatannya. “Berterimakasih kepada orang yang selalu menyayangiku dan
menjagaku selama ini.” Aku tersenyum dan sampai saat ini juga didalam
hatiku masih tetap bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk melihat
dunia ini dan merasakan indahnya melalui hari-hari dengan orang yang sangat
berarti dalam hidupku. Entah sampai kapan, yang jelas aku akan selalu
menghargai setiap hebusan nafasku, menghargai waktuku setiap detiknya. Karena
aku tak akan pernah bisa mengira dan menghitung, kapankah SISA NAFASku akan
berakhir, dan waktuku akan terhenti.
**
Aku sangat merasa bosan
hari ini, setelah empat hari yang lalu Mamah belum juga pulang dari urusan
kerjanya menyusul Papah diluar kota. Ditambah lagi kak Bisma yang udah nggak
mau diajak jalan-jalan lagi. Aku menyendekkan tubuhku di kepala sofa karena
tidak ada aktifitas lagi yang harus kulakukan. Sebenarnya udah dari bulan-bulan
lalu Mamah membelikanku kelinci untuk teman bermainku. Ah, tapi aku sudah lelah
merawatnya, kelihatannya juga kelincinya udah sangat bosan ngeliat aku,
ditambah lagi selalu aku kasih makan wortel.
“Kak Bisma, aku bosen..”
Aku mendekati kak Bisma yang sedang bermain laptop di teras belakang rumah, aku
menaruh daguku dipundak kak Bisma.
“Mainan sama kelinci
aja,” Ucap kak Bisma.
“Kelincinya aja udah
cape ketemu aku terus.” Jawabku cemberut, sebenarnya aku juga tak mau
mengganggu kak Bisma, kelihatannya kak Bisma lagi sibuk dengan tugas kuliahnya.
“Kak Bisma lagi buat
tugas kuliah, ya?” Tanyaku, dengan santai kak Bisma menutup laptopnya dan
melihatku.
“Kamu mau kemana, dek?
Mau apa juga?” Tanya kak Bisma.
“Mau punya pacar, haha.”
Jawabku asal. Memang, aku ingin sekali merasakan bagaimana indahnya punya
kekasih yang sangat aku cintai berada disamping aku terus.
“Hish pacaran? Gak enak
tau, kalau udah putus sakitnya tuh disini..” Ungkap kak Bisma tertawa kecil
sambil menasehatiku. Memang, dari SMP tuh kak Bisma paling gak pandai kalo
masalah cinta-cintaan gitu. Kisah cintanya aja selalu berakhir sadis,
sesadis-sadisnya itu kak Bisma ditinggal nikah sama pacarnya waktu kak Bisma
masih semester empat, hahahaha.
“Et, tapi kakak punya
ide!” Tiba-tiba kak Bisma menarik tanganku untuk mengikutinya naik keatas
balkon lantai dua.
“Nah, sekarang kamu
berdiri disini ngehadep kesana.” Suruh kak Bisma, aku berdiri dipinggir pagar
balkon dan aku hanya menuruti kemauannya saja. Tanpa ada aba-aba lagi, sepasang
tangan melingkar diperutku, dan itu tangan kak Bisma. Dia selalu punya ribuan
cara untuk membuatku tersenyum. Gak ada alasan buat sedih deh kalo ada kak
Bisma disamping aku.
“Dan sekarang tugas
kamu, bayangin kalo kak Bisma itu pacar kamu.” Ucap kak Bisma.
“Issshh, gimana bisa?
Tetep aja beda, kak.” Protesku. Tangan kak Bisma kini menggenggam erat kedua
tanganku yang tadi berada didepan perutku, kak Bisma meletakkan dagunya
dipundakku, lalu dia berbisik..
“Bayangin kalau kakak
ini cowok impian kamu, cowok pujaan kamu yang setiap hari kamu pikirin, cowok
yang kamu sayangi, cowok yang akan nemenin kamu dan berjanji akan terus sama
kamu dari hidup sampai mati, cowok yang mencintai kamu apa adanya, yang setiap
saat kamu jadiin sandaraan ketika kamu rapuh dan kamu jadiin pangkuan saat kamu
tertawa, cowok yang bersumpah dihatinya hanya ada nama kamu, sayang.”
Whuuuuuu
terbang.....!!!! Semua ucapan kak Bisma buat aku terbang! Berasa beneran punya
pacar. Nyaman sekali berada didekapan kak Bisma. Jadi, beginikan rasanya punya
kekasih? Dicintai orang yang kita cintai? Seandainya aku punya banyak
kesempatan. Ah, sudahlah. Bagaimanapun, aku harus tetap bersyukur ada kak Bisma
disini, aku sayang kak Bisma dan akan selalu sayang kak Bisma.
“5 September 2014. Akhirnya,
aku tau bagaimana rasanya pacaran itu, rasanya berada didekat orang yang kita
cintai, dan bagaimana itu ketulusan.”
**
Aku merasa aneh dengan
pipiku, aku merasa ada yang menyentuhnya. Dengan segera aku membuka mataku,
ternyata ada sepasang tangan boneka yang mengelus-elus pipiku. Dan benar
sekali, itu boneka panda raksasa yang digerakkan oleh kak Bisma. Duhh, ada-ada
aja deh kakak ini...
“Apaan sih, kak? Masih
ngantuk, nih.” Ucapku dengan mata sayuku yang masih terasa berat untuk dibuka
lebar-lebar.
“Selamat pagi kakak
cantik. Kakak cantik banget, deh. Aku mau kenalan, dong.” Aku menahan tawaku
saat kak Bisma berbicara seperti anak kecil dan menggerak-gerakkan boneka
panda, seolah boneka itu yang lagi berbicara.
“Hay ganteng, nama aku
Tiara.” Ucapku tersenyum.
“Gimana semalem
tidurnya, kak? Nyenyak banget, nyenyak, atau gak nyenyak sama sekali?” Kak
Bisma masih tetap saja menggurauiku.
“Nyenyak banget, dong.
Kan sekarang aku udah punya pacar.” Jawabku dengan sedikit sipuan malu, kak
Bisma hanya tertawa kecil mendengar jawabanku.
“Syukurlah.” Kemudian
kak Bisma mengelus puncak kepalaku. “Kalau gitu, cepetan mandi, kakak tunggu
dimeja makan.” Kak Bisma kemudian beranjak keluar dari kamarku, sedangkan aku
malah mendekap erat boneka panda pemberian kak Bisma dan enggan untuk bangun.
Kenapa pagi ini terasa sangat damai dan nyaman? Seolah semua beban pergi jauh
dari tubuhku, kegelisahanpun seperti hilang diterpa mentari saja. Entahlah..
**
Setelah sarapan bersama
tadi, kak Bisma izin untuk berangkat kuliah, bilangnya jam satu udah pulang,
tapi sampai sesore ini dia belum kembali. Aku sangat bosan dirumah sendiri,
apalagi hanya menonton tv dengan ditemani boneka panda itu.
“Huaaah, bosen
banget...” Aku menarik nafasku panjang dengan sedikit membanting remote tv itu.
Aku bangkit dari dudukku untuk menuju kamar tanpa memperdulikan tv yang masih
menyala, kugendong boneka panda pemberian kak Bisma menaiki anak tangga untuk
sampai dikamarku. Saat aku memasukinya, tiba-tiba dadaku merasakan panas yang
luar biasa, sakit sekali.. Sampai-sampai tubuhku terjatuh ditempat tidur.
Tanganku merambat untuk meraih obat yang terdapat dilaciku. Dan... berhasil!
Dengan susah payah aku
membuka obat itu, belum sampai masuk kedalam mulutku, aku sudah terbatuk. Darah
keluar dari mulutku, aku menutupnya dengan sangat erat agar tak terlalu banyak
mengeluarkan darah lagi. Tak kusangka, ternyata darah malah keluar dari hidung
dan telingaku, batinku menjerit. Ya Tuhan... aku sangat takut, amat sakit
rasanya. Hentikan semua ini Tuhan, aku nggak kuat.
“Kak Bisma...” Lirihku
dengan tangisan, aku takut sebelum kak Bisma kembali aku sudah tak bisa
melihatnya untuk terakhir kali. Tiba-tiba saja pintu terbuka, kak Bisma datang!
Dia kelihatan sangat panik mendapati kondisiku yang sangat mengerikan ini. Dia
berlari dan berjongkok disampingku, diberikannya sapu tangan untuk menutup
mulutku.
“Kak, obat...” Lirihku,
kak Bisma dengan segera mengambilkan obat dan segelas air. Dengan hati-hati aku
meneguknya, sedangkan kak Bisma masih mengusap-usap punggungku.
“Mana yang sakit?” Tanya
kak Bisma, aku menunjuk punggung belakangku dan dadaku sebelah kanan, amat
panas dan sangat nyeri.
“Kamu yang sabar ya,
sayang.” Aku hanya mengangguk lemah, kak Bisma kemudian menggendongku untuk
rebahan di tempat tidur.
“Kakak ambilin sapu
tangan lagi, ya? Buat ngelapin belepotan darahnya.” Lagi-lagi aku hanya
mengangguk, aku sudah tak sanggup berbicara, untuk bernafas saja sungguh berat.
Aku pernah dengar keterangan dokter saat berbicara dengan Mamah tentang
penyakitku ini, jadi setengah dari paru-paruku itu sudah tak berfungsi lagi,
sudah memutih dan tidak bisa menampung banyak oksigen lagi. Itu keterangan
beberapa bulan lalu. Memang, semakin hari semakin sulit untukku bernafas.
Apakah ini akan segera berakhir? Mungkin..
Kak Bisma berjalan masuk
mendekatiku dan duduk ditepi ranjangku.
“Mana tangannya?” Aku
mengulurkan tanganku dan kak Bisma membersihkan sisa-sisa darahku yang
belepotan ditangan, kemudian telinga, hidung, dan terakhir mulut.
“Mau minum lagi?” Tawar
kak Bisma, akupun mengangguk. Kak Bisma mengambil segelas air yang terletak
diatas laci dekatku. Aku meneguknya, dan rasanya sudah lebih baik.
“Kak, kalau aku
kenapa-napa lagi, aku gak usah dibawa kerumah sakit, ya? Ini obat tinggal satu
buat nanti malem, terakhir. Terus aku gak usah dibeliin obat lagi, ya?” Ucapku.
Kak Bisma mengerutkan keningnya tak mengerti maksudku.
“Kenapa? Harus dibawa,
dong. Kalau kenapa-napa gimana?” Aku hanya menggeleng.
“Aku mau Mamah sama
Papah pulang sekarang, kak.” Pintaku.
“Ya nggak bisa, dong.
Mereka kan sedang diluar kota.” Ucap kak Bisma.
“Yah...” Kataku lesu.
“Eh, kok gitu, sih?
Jangan sedih, dong. Kan ada kak Bisma.” Tiba-tiba kedua tangan kak Bisma
memegang kedua pipiku, jempolnya mengelus-elus lembut pipiku. Memang, kak Bisma
paling nggak suka kalau aku sedih. Entah kenapa...
“Yaudah, istirahat, gih.
Biar enakan, atur nafas dulu. Pelan-pelan..” Aku menuruti perintahnya, perlahan
aku menarik nafasku, lalu kuhembuskan pelan-pelan dari mulut. Kak Bisma menarik
selimutku untuk menutupi sebagian tubuhku dan diletakkannya boneka panda
disampingku. Aku menutup kedua mataku untuk istirahat sebentar saja, istirahat
dari rasa nyeri dan panas yang menyakitkan itu. Kak Bisma berjalan keluar dari
kamarku, aku masih bisa mendengar suara langkah kakiknya dan suara pintu yang
kembali tertutup.
-Sudut Pandang
Bisma, Pemeran Utama Pelaku Sampingan-
Aku berjalan keluar dari
kamar adikku, kulihat dia sesaat lalu kututup pintunya. Tiba-tiba saja aku
memegang dadaku, detak jantungku sedikit lebih cepat.
“Kok aku deg-deg-an,
ya?” Ucapku dalam hati. “Firasatku nggak enak.” Aku segera menepis firasatku
itu. Dan aku segera meninggalkan kamarnya.
**
Malam ini bintang sangat
bertabur terang dan banyak. Aku memasuki kamar adikku membawa nampan berisi
bubur dan segelas susu untuk makan malamnya. Dari tadi siang sepertinya dia
belum makan. Aku melihatnya duduk bersandan dikepala tempat tidurnya memeluk
boneka pemberianku sambil mendengarkan lagu yang terkesan sangat lirih,
sepertinya dia sangat menyukai boneka itu, mungkin akan menjadi boneka
tersayangnya.
“Dek, makan dulu. Biar
cepet sehat.” Ucapku.
“Bentar lagi aku sembuh
kok, kak.” Aku tak mengerti apa maksudnya. Sembuh? Bagaimana bisa? Disuruh
makan aja susah..
“Mendingan kita dengerin
lagu bareng-bareng. Lagunya pas bagus nih, kak.” Ucapnya, aku lalu meletakkan
nampan itu diatas laci dekatnya. Aku mengambil posisi duduk disampingnya dan
ikut menyandankan kepalaku berdampingan dengannya.
“Ishh, sukanya kok lagu
yang mellow-mellow?” Ejekku, tapi dia malah menyandarkan kepalanya dipundakku.
Bibirnya seperti ikut bernyanyi kecil mengikuti lagu itu.
“I can’t sleep
tonight.. Wide awake and so confused, everything’s in line. But I am bruised..
I need a voice to echo I need a light to take me home I kind a need a hero is
it you..” Dia bernyanyi lirih, aku masih memandangnya. Tanganku terangkat
untuk mengusap rambutnya. Entah mengapa, malam ini aku merasakan sangat dekat
dengannya, sangat nyaman berada disini. Ini adalah rasa yang belum pernah aku
rasakan sebelumnya saat sedang bersamanya.
“I never see the forest
for the trees, i could really use your melody, baby i’m a little blind, i think
it’s time for you to find me..” Dia masih bernyanyi
dalam lirih..
“Can you be my
nightingale? Sing to me.. I know you’re there.. You could be my sanity. Bring
me peace. Sing me to sleep.. Say you’ll be my nightingale.”
-Sudut Pandang
Aku, Pemeran Utama Pelaku Utama-
“Iyadeh, kak Bisma mau
kok jadi nightingale-mu, haha.” Aku menghentikan laguku karena dipotong oleh
kak Bisma.
“Haha, kalau gitu kak
Bisma nyanyi, dong? Buat aku.” Pintaku.
“Enggak mau, ah.”
“Dih, disuruh adikknya
juga.” Ucapku, tiba-tiba saja aku teringat oleh lembaran-lembaran kertas
origamiku dan sehelai bulu merpati yang kudapati sepekan lalu. Aku lalu
mengambilnya dari dalam laci dekat obatku.
“Kak, masa waktu itu aku
nemuin kertas-kertas ini sama bulu ini?” Kataku memperlihatkan benda-benda itu.
“Terus?”
“Kertasnya udah mau
abis, kak. Tinggal satu, besok kak Bisma beliin lagi, ya?” Suruhku, kak Bisma
hanya mengangguk.
“Iya, besok kakak beliin
lagi.”
“Terus, kayaknya besok
aku udah gak main-main dikamar lagi deh, kak.” Kak Bisma tiba-tiba menatapku
serius, aku sedikit kikuk karenanya.
“Emang besok kamu mau
main kemana, hem?” Tanya kak Bisma.
“Ketempat yang paliiiiiiiiiiiing
indah, kakak belum pernah kesana. Dan belum saatnya kakak kesana.” Kak Bisma
masih memandangku serius. “Besok kamar aku tatain yang rapi ya, kak? Terus bulu
ini kakak taruh diatas pangkuan boneka pandaku ini.” Lanjutku.
“Engga, ah. Tata sendiri
aja, kenapa harus kakak?” Tanya kak Bisma heran.
“Please lah, kak. Besok
aku buru-buru, gak sempet buat ngerapiin kamarnya..” Ucapku memelas.
“Iyadeh iya, buat adik
kak Bisma yang paling cantik ini apasih yang enggak, haha.” Aku tertawa kecil
mendengar pernyataan kak Bisma itu. Lalu kuambil sebuah bolpoin yang terletak
disampingku.
“6 September 2014.
Bernyanyi menghabiskan malam dengan orang yang paling aku sayang.”
Kak Bisma tersenyum ketika melihat tulisanku itu. Sepertinya ia mulai ingin
bernyanyi bersamaku.
“Yaudah, yuk. Nyanyi
bareng kakak. Kan tadi baru kamu yang nyanyi. Katanya kan bernyanyi
menghabiskan malam dengan orang yang paling kamu sayang. Kita abisin malam ini
sama-sama, haha.” Dan benar, kak Bisma ingin bernyanyi bersamaku.
“Mau lagu apa, nih?”
Tawarku.
“I can be tough, I can
be strong, but with you, it’s not like that at all.. Theres a girl who gives a
shit.. Behind this wall, You just walk throug it.”
Kak Bisma menyanyikan lagu favoritnya dari dulu hingga saat ini, dan aku tau
itu. Aku lalu ikut bernyanyi bersamanya.
“And I remember all
those crazy thing you said, you left them running through my head, you’re
always there, you’re everywhere but right now I wish you were here.. All those
crazy things we didn’t think about it just went with it.. You’re always there,
you’re everywhere, but right now I wish you were here..” Aku
dan Kak Bisma berhenti sejenak dan saling melempar pandang, lalu..
“Damn, damn, damn, what
I’d do to have you here, here, here.. I wish you were here.. Damn, damn, damn,
what i’d do to have you near, near, near.. I wish you were here.”
“Hahaha, udah kak udah,
enggak kuat.” Ucapku sambil memegang dada kananku karena sedikit nyeri akibat
terlalu banyak mengeluarkan kata-kata. Kak Bisma mengerti dan langsung
menghentikan lagunya. Kak Bisma lalu menyuruhku untuk tidur dan dia lalu
menyelimutiku.
“Kak Bisma tidurnya disini aja, ya?
Jagain aku..” Pintaku. Kak Bismapun mengangguk, aku memberinya satu bantal dan
kak Bisma mengambil selimut di almariku. Kak Bisma akan tidur disofa depan
tempat tidurku. Aku melihatinya berbaring dan meletakkan sepasang headset
ditelinganya lalu ia memejamkan matanya.
“Semoga kak Bisma dapet jodoh yang lebih
cantik dari aku.” Batinku sambil tertawa kecil memandangnya. Aku mencoba
memejamkan mataku walaupun dada dan punggungku kembali terasa nyeri dan panas.
**
“Sayang?” Aku menoleh ketika seseorang
seperti memanggilku.
“Kamu?” Kataku terkejut mendapati
seorang wanita yang pernah aku temui beberapa waktu lalu, dia tersenyum manis
kepadaku.
“Sudah waktunya kamu ikut bersamaku.
Kamu sudah siap?” Tanyanya lembut.
“Tapi..” Ucapku menggantung.
“Tenanglah, kakakmu tak akan apa. Kamu
bisa memberinya kenangan-kenangan indah untuk teman hidupnya.”
“Aku masih ingin bersamanya,
tolonglah..” Pintaku.
“Kamu tak perlu khawatir, kamu akan
merasa lebih lama bersamanya esok.” Ucapnya tetap pada nada halus, aku hanya
bisa apa?
“Arrgghhh?!!”
“Dek, kamu kenapa?” Aku membuka mataku
cepat ketika seorang menepuk pipi kananku. Ternyata hanya mimpi! Aku memegang
dada kananku, amat sakit rasanya. Rasa nyeri dan panas tiba-tiba datang
bertubi-tubi.
“Kakak, sakit..” Lirihku,
“Kak Bisma bawa kerumah sakit, ya?”
Tanya kak Bisma, kak Bisma memegang kening dan tengkukku, sangat dingin
suhunya.
“Gak usah, kak. Bentar lagi sakitnya
hilang, kok.” Ucapku lemas. Tapi kak Bisma tetap bersikeras untuk menggendongku
memasuki mobil dan membawaku kerumah sakit. Kali ini kak Bisma tidak menyupir
sendiri, melainkan menyuruh sopir rumah.
“Tahan bentar, ya?”
“Kak, panas. Aku gak bisa nafas..”
Ucapku lirih. Sungguh, dadaku sangat panas dan nyeri, susah sekali untuk
bernafas. Hidungku seakan mati rasa, tak merasakan sedikitpun udara yang masuk
melaluinya.
“Arrgghhh.” Desisku pelan menahan sakit
yang teramat sangat.
**
-Sudut Pandang Normal-
“Mamah harus pulang sekarang juga! Bisma
gak mau tau, siang ini mamah harus udah sampai!” Bisma menutup teleponnya
dengan raut sangat kepanikan.
“Semoga semuanya baik-baik saja..” Guman
Bisma lirih..
Seorang dokter keluar dari ruangan
dimana Tiara dirawat. Ia ingin sekali bertemu namun dokter tak mengijinkan. Bisma
berjalan untuk mengintip Tiara dari lubang kaca kecil yang terpasang dipintu.
Ia melihat kondisi adiknya yang sangat menghawatirkan. Sampai sekarang Tiara
belum sadarkan diri, namun nafasnya tersenggal-senggal, banyak alat medis yang
menempel ditubuh Tiara, Bisma semakin tak tega melihatnya.
“Kalau kamu mau pergi, kakak udah
ikhlas, dek. Hati-hati, ya?” Bisma meneteskan air matanya ketika melihat Tiara
sekarat seperti itu. Bisma benar-benar tak tega melihat adiknya seperti ini,
ini malah menyiksa batinnya. Ia harus mengikhlaskan Tiara, ikhlas gak ikhlas,
rela gak rela, tetap harus melepaskan adiknya.
Sudah berjam-jam Tiara ditangani, tadi
suster sudah keluar dan menjelaskan bahwasannya kondisi Tiara memang sangat
menghawatirkan. Bisma menoleh melihat Mamah dan Papahnya datang. Bisma berjalan
cepat dan memeluk Mamahnya.
“Nak..” Bisma memeluk mamahnya sekaligus
mamah Tiara dengan sangat erat,
“Ikhlasin Tiara ya, Mah..” Lirih Bisma,
Mamahnyapun mengangguk pasrah. Papah Bisma mengelus pundak Bisma untuk
menenangkannya. Bisma merasakan hatinya sangat sakit, ia merasa akan kehilangan
penyemangat hidupnya untuk selama-lamanya.
Dokter keluar dari ruangan Tiara, ada
raut tak enak dari wajahnya. Dokter itu berucap bahwa sudah tak ada harapan
lagi untuk Tiara, dokter meminta izin untuk melepas semua alat-alat yang
terpasang ditubuhnya.
“Kami sudah ikhlas, dok.” Semua menoleh
sedih ketika Papah Bisma berucap seperti itu. Sudah tak ada alasan lagi untuk
Bisma tak menumpahkan air matanya, mamah Bisma memeluk erat tubuh putranya yang
kini tinggal semata wayang itu. Bisma menumpahkan semua bebannya dipundak
mamahnya. Kini Bisma tak bisa menyangkal lagi, kenyataan terpahit dihidupnya
kini sudah menghampiri.
**
Bisma duduk ditepi tempat tidur Tiara
yang kini sudah tertata rapi olehnya, dan ini adalah pesan adiknya semalam.
Bisma teringat bahwa Tiara memiliki catatan harian yang ia ceritakan semalam.
Bahkan, Bisma belum sempat membelikan lembaran origami yang baru untuk Tiara.
Ia mencari kertas itu dilaci, dan ternyata diatas kertas itu ada bulu merpati,
Bisma mengambil kedua benda itu. Diletakkannya bulu merpati itu diatas pangkuan
boneka panda Tiara sesuai permintaan terakhirnya semalam. Kemudian Bisma membuka
dan membaca tulisan Tiara.
“1
September 2014. Terimakasih Tuhan, Kau telah kembalikan orang yang kusayang
dalam hidupku” Ini yang
kutunggu, ini yang kunanti, ini yang kurindu, ini yang kuinginkan. Terimakasih
Tuhan, Kau telah kembalikan satu-satunya orang didunia ini yang begitu berarti
dalam hidupku, satu-satunya orang yang mampu membuatku bertahan dari
anugerah-Mu pada paru-paruku. Kini dia kembali, kembali seperti dulu, seperti
dulu yang menyayangiku, menyanyangiku dan membuatku selalu tersenyum. Aku sangat
bersyukur atas ini, Tuhan. Dia kembali ditengah-tengah kondisiku yang sudah tak
terkendali ini. Aku akan memanfaatkan waktuku setiap detiknya bersama kakak
tersayangku, kak Bisma..
Bisma membuka lembar kedua pada buku diary yang Tiara buat sendiri.
“2 September, 2014. Mengulang kenangan indah
dengan orang tersayang di dunia ini.” Hari ini adalah hari yang sangat
menyenangkan untukku. Mengulang memory-memory indah bersama kakak tercintaku.
Walaupun tak seindah dan sesempurna kenangan kami dulu, aku tetap senang. Kak
Bisma bilang, kak Bisma itu sayang banget sama aku, dia selalu bisa buat aku
tertawa. Aku gak tau apa yang terjadi selanjutnya, aku belum terlalu siap untuk
berpisah dengannya. Dia terlalu sempurna untukku. Walau tiga tahun lalu, kak
Bisma sempat membenciku karena kesalah fahaman, tapi rasa sayangnya kepadaku
tak berkurang sedikitpun. Di SISA NAFASku yang sesingkat ini, aku ingin
menciptakan moment-moment indah bersama kak Bisma. Aku takut, jika aku sudah
pergi, kak Bisma akan melupakanku. Maka dari itu, aku akan selalu melakukan
hal-hal yang bisa membuat kak Bisma mengenangku, selamanya..
Pada lembar inilah, setetes cairan bening keluar dari
pelupuk mata Bisma. Bisma membuka lembar ketiga, namun disana kosong. Lalu
dibukanya lembar keempat, sama seperti lembar ketiga, kedua lembaran itu
kosong. Bisma mencoba mengingat-ngingat hal apa yang dilakukan oleh Tiara
dihari itu, dan akhirnya Bisma teringat bahwasannya dua hari itu Tiara sedang
dirawat dirumah sakit. Bisma lalu kembali membalikkan lembar selanjutnya, dan
sampailah ia dilembar kelima.
“5 September 2014. Akhirnya, aku tau
bagaimana rasanya pacaran itu, rasanya berada didekat orang yang kita cintai,
dan bagaimana itu ketulusan.”
Hari ini akhirnya keinginanku untuk
memiliki seorang kekasih terwujud. Sudah sejak lama aku menginginkan rasa ini
hadir dalam hidupku. Apalagi saat umurku sudah remaja dan akan menginjak
dewasa. Tapi aku hanya menghabiskan masa-masa SMA dengan tidur-tiduran dan
membuang-buang uang Mamah dan Papah untuk membeli obatku yang kurasa tak
berarti untukku. Namun tidak semenjak kembalinya kak Bisma, ia seolah bisa
mengembalikan dan merubah duniaku. Itu kali pertamanya aku merasakan bagaimana
dicintai orang yang aku cintai, bagaimana itu kesaksian kekasih untuk menjaga
kita, mendampingi kita. Aku tak menyangka kak Bisma bisa mewujudkan khayalanku
yang diambang mustahil itu, dan hanya kak Bisma...
Bisma sedikit menyungging senyum ketika membaca
lembaran ini. Ia teringat ide gilanya saat berpura-pura menjadi kekasih adiknya
sendiri. Memang, hari itu Bisma sudah kehabisan ide lagi untuk membuat adiknya
tersenyum, tapi ia tetap tak mau berhenti untuk membuat Tiara tersenyum. Dia
selalu berusaha, demi adiknya..
“6 September 2014. Bernyanyi menghabiskan
malam dengan orang yang paling aku sayang.”
“Hanya inikah?” Bisma terlihat bingung
ketika mendapati lembar keenam yang hanya tertulis beberapa kata saja. Namun
ketika itu Bisma teringat bahwasannya malam itu kondisi Tiara tidak
memungkinkan untuk menulis lagi. Ketika Tiara bernyanyi lirih dipundak Bisma,
Bisma kembali metitikkan air matanya ketika mengingat itu. Lalu Bisma membalik
lembar ketujuh.
“7 September 2014. Berterimakasih kepada orang yang selalu
menyayangiku dan menjagaku selama ini.”
Bisma terkejut ketika mendapati tulisan
ditanggal kepergian adiknya, dan ini memang tulisannya.
“Jadi selama ini? Tiara udah punya
firasat?” Guman Bisma, ia lalu melanjutkan membacanya.
“Entahlah, mengapa aku ingin sekali
cepat-cepat menulis dilembar ketujuh ini. Aku ingin berterimakasih dengan
orang-orang yang selama ini menyayangi dan menjagaku. Merawatku dan
membesarkanku. Mengajariku cara menghargai waktu dan mensyukuri hidup. Mamahku,
Papahku, mereka berdua yang telah menimang dan meninabobokkanku dan kak Bisma.
Mereka berdua bekerja keras membanting tulang untuk membiayai sekolahku dan
sekolah kak Bisma, membuang-buang uang untak berobatku. Mereka berdua adalah
orang tua terbaik bahkan terhebat didunia ini bagiku dan bagi kak Bisma.
Lalu kakakku, Bisma Karisma. Nama inilah
yang sering aku sebut dilembar-lembar sebelumnya. Satu-satunya orang yang
memberiku semangat hidup dan semangat menjalani hari-hariku yang menyakitkan
dan menyiksaku. Dia adalah kakak yang sempurna dan luar biasa untukku. Aku
sangat menyayanginya, sangat-sangat menyayanginya. Aku bersyukur pada Tuhan
karena memiliki kakak sepertinya. Dan aku yakin, sebentar lagi kak Bisma akan
menemukan pendamping hidup yang akan menemani hari-harinya setelahku, aku
selalu berdoa untukknya, semoga kak Bisma diberikan jodoh terbaik oleh Tuhan.
Jodoh yang menerima kak Bisma apa adanya dan setia menyayanginya, melebihi sayangku
ke kak Bisma. Aku yakin, aku akan sangat merindukan kenangan-kenangan indah
disini bersama kakakku. Tapi aku tau, ini akan lebih baik untukku, karena Tuhan
sangat menyayangiku. Ia tak mau membuatku merasakan sakit yang bertubi-tubi
setiap harinya. Kini, aku sudah dipenghujung perjalananku, menutup kenangan
indah dengan orang-orang yang kusayangi. Dan akhirnya, aku sehat, aku tak sakit
lagi. Terimakasih Tuhan...
Bisma akhirnya selesai membaca semua
catatan-catatan yang dibuat adiknya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir
membasahi kedua pipinya. Matanya memerah, baru beberapa jam saja ia tak bersama
Tiara, ia sudah merasakan rindu yang teramat dalam.
“Kakak akan menjadikan kenangan-kenangan
kita untuk menjadi semangat baru kak Bisma, dek. Kak Bisma janji. Selamat untuk
kamu, kamu kuat, kamu kuat ngejalanin ujian Tuhan, kamu berhasil Tiara, dan
sampai akhirnya kamu sudah sehat, kamu sudah tak merasakan sakit lagi. Selamat
tinggal dan selamat tidur, yang nyenyak ya, sayang? Sering-sering mampir kemimpi
kak Bisma, supaya kak Bisma gak kangen-kangen terus sama kamu. Tunggu kakak
disurga, kakak yakin kita akan bersama lagi..” Lirih Bisma, ia lalu meletakkan
buku harian itu disamping bulu merpati itu juga. Bisma berjalan keluar dari
kamar Tiara, ia berhenti sejenak untuk menerawang jauh angannya, mengingat wajah
adiknya yang ceria. Namun, kini sudah sangat ceria disurga sana.
“Keep smile, spirit, and get moving on,
Bisma!” Ucap Bisma dalam hati, ia menutup perlahan kamar adiknya itu.
Tidak semua kenangan itu buruk dan
menyakitkan, tergantung kita yang mengenangnya. Jangan terlalu berangan untuk
kembali kemasa lalu, karena itu takkan pernah terjadi. Syukuri hidup yang telah
diskenariokan oleh Tuhan, karena setiap cobaan yang dilimpahkan-Nya pasti ada
setitik kebahagiaan yang mendalam untuk dijalani. Jangan sia-siakan waktumu
untuk melakukan hal yang bisa merugikan dirimu sendiri apalagi orang lain.
Karena sesungguhnya hal apapun yang kita lakukan, akan menjadi bekalmu dimasa
depan. Dan sesuatu yang terjadi pada dirimu merupakan pelajaran terbaik
untukmu.
Sebuah cerita fiksi yang terinspirasi dari Kiki Husadani.
Oleh: @hafidhohasna
Kritikan apapun diterima disini, jangan lupa sarannya eaps ^^ Maklum masih penulis amatiran :D
Kritikan apapun diterima disini, jangan lupa sarannya eaps ^^ Maklum masih penulis amatiran :D
Kereeeeeennnnnnnnn :D
BalasHapussalam kenal ya, membaca sekaligus belajar disini deh jadinya ;)
keep posting :)